Mohon tunggu...
Susi Diah Hardaniati
Susi Diah Hardaniati Mohon Tunggu... Lainnya - IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

life is nothing but a daring adventure - helen keller

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Serunya Kondangan #9: Pilih Duit atau Digosipin?

7 April 2013   10:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:35 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1365320003804364987

[caption id="attachment_253358" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustasi/Admin(Kompas.com)"][/caption] Kondangan memang dilematis. Bikin galau. Sebagian orang berpendapat, kondangan hanya buang-buang duit. Pemborosan yang tidak perlu. Uangnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. Sebagian lagi berpendapat, kondangan hukumnya wajib. Kondangan tidak sekedar hura-hura, melainkan "pengumuman" pada khalayak umum bahwa orang tua sudah menunaikan tugas membesarkan anak. Orang tua sudah lulus dengan predikat "memuaskan". Sebagian lagi galau di tengah-tengah, antara setuju dan tidak setuju. Contohnya saya... hehehehe... Opini masyarakat pun seringkali tidak berpihak pada pendapat yang kontra terhadap acara kondangan. Seringkali aku temui pandangan miring dari kerabat dan teman terhadap keluarga yang memutuskan tidak merayakan pernikahan anaknya secara "semestinya". Mulai dari komentar "memang pelit tuh", sampai tuduhan "jangan-jangan udah hamil duluan" dilayangkan pada keluarga tersebut. Contoh paling nyata adalah ketika (mantan) bosku menikahkan putri sulungnya. Sebagai bos, semua orang membayangkan acara kondangannya akan dilaksanakan di tempat yang mentereng, dengan katering super istimewa, mengingat si Bos ini perempuan cantik serba mahal. Antiklimaks. Kondangan anak Bos ternyata "hanya" dilaksanakan di rumah, bahkan acara makan-memakan dilaksanakan di jalan depan rumah Bos. Walaupun demikian, sebenarnya kemewahan tetap terasa. Tenda pengantin tetap disewa dari tempat persewaan mahal. Katering tetap super istimewa. Tapi tetap saja. Tempatnya "hanya" di jalanan, bukan di gedung mewah. Segera saja "bisik-bisik tetangga" menyebar tak terkendali. Ketika kuberanikan diri bertanya, jawaban Bos ternyata sederhana saja, "Daripada uang jutaan saya pakai untuk sewa gedung mahal-mahal, mendingan uangnya saya pakai untuk nambahin beli rumah untuk anak saya, Mbak." Salut untuk Bos. Walaupun demi "nambahin beli rumah" itu dia harus menebalkan muka dan menulikan telinga. Mantan bosku yang lain, Pak KS yang pernah kutulis di sini, juga tidak menyelenggarakan kondangan pernikahan anaknya secara besar-besaran. Acara walimahan dilaksanakan di rumah. Tapi ketika itu tidak banyak komentar miring yang terdengar, karena secara umum Pak KS memang disegani karena kesederhanaannya. Kedua contoh di atas jelas berkecukupan secara materi, tapi memilih untuk tidak mengadakan acara kondangan yang "wah". Sebaliknya, seorang kenalanku rela repot dua kali demi acara kondangan yang diidam-idamkan. Karena duitnya kurang, dia rela pernikahannya diadakan tanpa kehebohan kondangan. Cukup ijab kabul di depan penghulu, dihadiri keluarga dekat. Setelah uang terkumpul, baru kondangan dilaksanakan besar-besaran. Dari contoh-contoh di atas, mana yang paling benar? Entahlah. Urusan kondangan makin ruwet bila pihak luar ikut campur. Mulai dari bisik-bisik tetangga hingga peer pressure. Jangan salah, tekanan pergaulan juga menentukan terlaksana atau tidaknya suatu acara kondangan. Kalau mau jujur, setiap orang tua pasti merasakan tekanan dari teman-teman sejawat agar melaksanakan kondangan secara "semestinya". "Anak cuma satu mau menikah, mosok ndak diramai-ramaikan?" "Habis ini putrinya sudah dibawa orang lho Jeng, mosok ndak dibikinkan acara yang pantas?" "Anak ragil lho Pak, jangan diirit-iritlah, ini kan kondangan yang penghabisan..." Belum lagi kalau ternyata orang tua atau anak punya cita-cita sendiri untuk acara tersebut. Bisa jadi ada orang tua yang memendam impian menyelenggarakan kondangan dilengkapi acara wayang kulit semalam suntuk dengan mengundang dalang idola. Atau calon pengantin wanita yang punya hasrat terpendam melaksanakan kondangan yang serba Hello Kitty, misalnya. Atau calon pengantin pria yang bercita-cita kondangan sambil terjun payung... eh, ada nggak ya yang seperti ini... ??? Itulah sebabnya kita masih sering menjumpai acara kondangan yang "wow". Dan untuk melaksanakannya, uang bukan lagi masalah besar. Tidak mudah memutuskan apakah suatu acara kondangan perlu atau tidak. Setiap penyelenggara punya argumentasi masing-masing. Ingin sederhana, ingin mewah, ingin sedang-sedang saja, terserah pada sang empunya hajat. Sebagai pengamat dan penikmat, sebaiknya kita hormati privasi mereka untuk memilih. Namun apapun pilihannya, jangan pernah disesali di kemudian hari. Karena ada kondangan, misalnya pernikahan, yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Kalau sampai ada penyesalan, berarti menyesalnya juga seumur hidup. Catatan penting: tulisan ini menutup serial "Serunya Kondangan". Serial ini ditulis sekedar berbagi pengalaman, bukan untuk mendiskreditkan pihak manapun. Juga bukan hasil copy-paste pengalaman orang lain. Sebaliknya, moga-moga serial ini tidak dicopy-paste orang lain... hehehe... Semoga terhibur... moga-moga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun