Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi salah satu teknologi paling revolusioner di abad ke-21, dengan potensi untuk mentransformasi berbagai sektor, termasuk pelayanan publik. Dalam konteks global yang semakin terdigitalisasi, inovasi berbasis AI menawarkan solusi untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan kecepatan layanan publik, namun juga membawa tantangan kompleks yang melibatkan aspek teknis, etis, dan filosofis.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi lebih dari 275 juta jiwa, menghadapi peluang dan tantangan unik dalam penerapan AI di sektor publik. Dengan ekonomi digital yang diproyeksikan mencapai USD 360 miliar pada tahun 2030 dan penetrasi internet yang telah mencapai 79% pada tahun 2024, Indonesia memiliki fondasi yang kuat untuk transformasi digital pemerintahan. Namun, penerapan AI di sektor publik harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan spiritualitas yang menjadi fondasi masyarakat Indonesia.
Potret Penerapan AI dalam Pelayanan Publik Indonesia
Berdasarkan data terbaru, Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam adopsi AI untuk pelayanan publik. Menurut Government AI Readiness Index 2023, Indonesia menempati peringkat ke-42 dari 193 negara dengan skor 61,03 dari 100, menunjukkan adanya ruang perbaikan yang substansial. Yang menarik, 92% pekerja pengetahuan di Indonesia telah menggunakan AI generatif dalam pekerjaan mereka, melampaui rata-rata global (75%) dan Asia Pasifik (83%).
Adopsi AI di Indonesia diprediksi akan meningkat 30% pada tahun 2025, yang akan semakin mempercepat dampak ekonomi digital terhadap pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pasar transformasi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 24,37 miliar pada tahun 2025 dan tumbuh dengan CAGR 19,44% untuk mencapai USD 59,23 miliar pada tahun 2030.
Salah satu contoh nyata dari penerapan AI adalah robot humanoid seperti Sophia, yang dilengkapi dengan teknologi Natural Language Processing (NLP) dan machine learning. Sophia mampu berinteraksi dengan manusia secara alami, mengenali ekspresi wajah, dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan ini menunjukkan bagaimana AI dapat digunakan untuk menyediakan layanan publik yang lebih personal dan responsif.
Di Indonesia, pemerintah telah mengembangkan berbagai inisiatif AI untuk pelayanan publik, termasuk sistem bantuan sosial berbasis data, chatbot untuk layanan informasi publik, dan sistem prediksi untuk perencanaan kebijakan. Kementerian Komunikasi dan Informatika, bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, telah memperkuat kerja sama untuk mendorong transformasi digital dalam layanan pemerintahan.
Tantangan dan Risiko dalam Penerapan AI
Namun, di balik kecanggihan teknologi AI, terdapat risiko yang perlu diwaspadai, terutama bias algoritma. Data historis yang tidak representatif dapat menghasilkan kebijakan yang diskriminatif. Misalnya, sistem bantuan sosial yang hanya mengandalkan data lama mungkin mengabaikan kelompok marginal yang tidak tercatat dalam database awal. Hal ini dapat memperkuat ketidakadilan sosial yang sudah ada, bukannya menguranginya.
Selain bias, ketergantungan berlebihan pada AI juga dapat mengikis interaksi manusia dalam pelayanan publik. Filsuf Hannah Arendt mengingatkan bahwa ketika pelayanan publik sepenuhnya diserahkan kepada mesin, unsur empati dan solidaritas sosial bisa hilang. Manusia mungkin mulai diperlakukan seperti objek statis, bukan sebagai individu dengan kebutuhan dinamis dan emosi yang kompleks. Hal ini bertentangan dengan prinsip pelayanan publik yang seharusnya manusiawi dan inklusif.
