Mohon tunggu...
Arif Kurniawan
Arif Kurniawan Mohon Tunggu... -

lebih tajam melihat fenomena adalah awal dari ide, ide adalah nilai berbahaya yang perlu di waspadai. \r\nhanya ada dua pilihat pada ide, suburkan agar dia menjadi gerakan, atau bunuh agar tidak menjadi penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Patron Mayang

25 Juli 2013   05:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:04 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mayang harus memutar otak, agar bapak dan ibunya tidak marah. Sms yang diterimanya tadi sore membuatnya galau, dalam perfektif Mayang, mungkin kecemasan yang menghantuinya. Saat Bapak dan ibu harus mendengar keputusannya. Tapi saat ini hanya itu pilihan Mayang. Jujur dan apa adanya. Jika jujur ajur, maka pilihannya adalah berbohong. Tapi tentusaja benar kata orang, bohon satu akan berdomino menjadi kebohongan besar lainnya. Dan itu siksaan berat yang tidak berkesesudahan.

Mungkin benar kata Ti, jika wanita itu tidak punya pilihan, dia hanya bias dipilih dan menjalankan perintah sang adidaya bernama laki-laki. Piker Mayang gundah, tapi Mayang selalu jadi pendebat pikiran paternalistic ala keluarga Ti. Walau dirumah dia mengalami doktrinasi kenyataan saat melihat Ibunya menjadi objek paternalistic kaum laki-laki, Bapaknya.

Mayang termangu, beberapa pekerjaan rumah yang harusnya dikerjakan mendadak tidak selesai. Pikirannya diaduk seperti mesin molen yang mengaduk luluh semen bersama batu kroco, suara benturan batu dengan pasir dan semen menjadi satu, dan akhirnya membeku keras.

Dibaca lagi sms dari Mas Bambang, lelaki flamboyan dengan kewibawaan yang kharismatik. Santun tutur katanya dan romantic bicaranya. Menjadikan Mayang seakan terbang menjemput impiannya. Pertemuan Mayang dengan Mas Bambang terjadibegitu saja. Saat dia SMA dahulu, ketika dia ikut menari di hajatan pak karso tetangga desa. Pak karso Lurah memang kaya, dia mempunyai kelompok karawitan sendiri, menyewakan gamelan pada penduduk desa yang hajatan. Saat itu mayang masih belajar dan menjadi murid dari Pak Karso, dengan beberapa murid lain Mayang menampilkan kebolehan menari dan melantunkan beberapa tembang Jawa. Beberapa pengunjung suka dan riuh bertepuk tangan, Bapak dan Ibu juga bangga. Mayang menjadi bintang di desanya. Dan hari itu pertemuan dia dengan Mas Bambang terjadi. Saat di ruang makan, mas bambang mendekat dan menanyakan beberapa hal kepadanya, dari berkenalan hingga bertanya tentang sekolah. Tidak ada hal istimewa yang ditangkap dari pertemuan itu. Tetapi, beberapa bulan berikutnya, dia menjadi lebih bersinar seperti artis, saat Pak Karso dia menjadi penari jawa professional. Dengan tembang dan lagu jawa yang menyentuh hati. Tak ada yang menyangka akan hal itu, hingga saat Ayah dan Ibu mulai menegur Mayang. Saat pohon mulai menjulang, maka angin yang berhembus semakin kencang. Saat itu pula pohon akan mudah tumbang. Nasehat Ayah begitu mendalam, hingga dia terjebak dengan dogma akan kemestian menuruti apa yang dikatakan sang paternalistic.

Mulai saat itu, semua aktifitas yang dilakukan Mayang terhenti dan dia mulai mundur dari hiruk pikuk gamelan jawa. Dia hanya aktif di salon Ti, membantu Ti menata dekor dan merias manten. Keinginan Mayang adalah keinginan Bapak, Mayang dewasa dan menikah mempunyai anak hidup mapan. Walau ituhanya pelangi, indahnya terlihat nyata, walau sebenarnya adanya tak bias diraba. Mayang punya rencana, dan itu yang membuat Mayang gundah. Keinginan untuk terus menari dan melagukan tembang Jawa semakin memuncak.

Tapi setiap ide itu dikemukakan maka Mayang hanya akan mendapat cacian dan makian dari sang penguasa rumah itu. Tidak da kata diskusi, tidak ada kata pembenaran, hanya real yang telah dibuat Ayahnya dia harus melaju.

Dia semakin yakin, betapa susahnya melawan tirani paternalistic ini. Tetapi, saat bertemu dengan Mas Bambang, dia merasa tenang dan damai. Sosk ayah dan sosok lelaki idaman yang pernah dia temui. Mas Bambang yang flamboyant, tertaut usia 20tahun dengannya. Mungkin tidak semua lelaki seperti Bapaknya yang tirani, mungkin masih banyak sosok seperti mas Bambang yang dia temui. Lelaki yan gberbudi dan santun. Mas bambang yang bekerja di Kota sebagai kontraktor, yang pernah membangun masjid di desa pak Karso. Hingga dirinya sering bertemu dan berdiskusi dengan Mas Bambang. Pola pikirnya yang moderat dan demokratis, membuka mata Mayang akan kebebasan seorang wanita. Dan pemahaman keagamaan Mas Bambang yang kuat menjadikan semkin mempesona sosok ini. Entah rasa kagum atau sekedar simpati, semoga bukan cinta, harap mayang. Karena, dia tidak lagi sendiri, sudah ada sosok wanita yang mendampinginya dan beberapa anak kecil hasil cinta mereka.

Tapi, Mayang susah untuk menepis rasa ini, semakin dia mengkontradiksikan fenomena rumah dengan keluarga Mas Bambang maka akan didapati sebuah anomaly yang membuat dia harus membangun pertahan. Dan pertahanan itu berupa sebuah istanan indah diatas air, dengan batu marmer bersih sebagai dindingnya, hingga menyerupai kuil kisra dijamannya. Istana itu oleh Mayang dinamakan Cinta.

Mayang membuka HP nya lagi, dilihatnya sms terakhir dari Mas Bambang. Sebuah pilihan, “Aku ingin melamarmu”.

Sungguh, seperti campuran dua rasa, mungkin antara strowbery dan mangga, keduanya manis dan segar, tetapi harusnya dia bias membedakan antara dua rasa itu, tetapi semkin dikunyah semakin nikmat dua rasa itu bercampur. Dan sedihnya, saat Mayang tidak bisa memutuskan sebuah pilihan.

Mungkin, malam ini dia akan matur pada Bapak dan Ibunya, tentang keinginan Mas Bambang yang ingin “wayuh”, dan wanita yang mejadi madu adalah dirinya. Dirinya yang telah jatuh cinta dengan seorang lelaki falmboyan.

Saat kata itu terucap di depan bapak, maka Bapak dia sejenak, kemudia seperti halilintar atau sebuah gempa bumi menghantam diri Mayang. Dia seperti lupa atau dia asik dengan ketakutannya, hingga setiap apa yang dikatakan Bapak dia terlindung sebuah gelembung raksasa, gelembung itu mendengungkan suara Bapak dan tangis ibu. Dan dia hanya dia, dengan banyaknya ucapan bapak dengan energy marah itu.

Dan air mata Mayang tak bias bersinergi dengan otak yang akan tetap tegar. Dia bersekutu dengan hati dan perasaan Mayang. Maka pemberontakan air mata ini mengamini Bapak akan penolakannya. Mayang tersungkur di kamarnya, rasa itu begitu membuat dirinya lemah. Kenapa Bapak menjadi lebih feminine saat menghadapi persoalan ini. Mana nilai paternalistic itu? Harusnya Bapak bisa menerjemahkan paternalistic itu dalam berbagai wujud. Mayang terdiam, dalam sepi, untuk melawan paternalistic yang inskonsisten.

(wis Bar)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun