Mohon tunggu...
Ardy Milik
Ardy Milik Mohon Tunggu... Relawan - akrabi ruang dan waktu

KampungNTT (Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tim Advokasi Lingkungan Laporkan PT. IDK ke Polda NTT

28 Maret 2019   15:36 Diperbarui: 28 Maret 2019   23:41 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WALHI NTT dan JPIC OFM INDONESIA yang tergabung dalam Tim Advokasi Lingkungan melaporkan pengaduan pengrusakan mangrove oleh PT.IDK tepatnya di Desa Weoe dan Desa Weseben Kecamatan Wewiku seluas 200 ha, Desa Motaain Kecamatan Malaka  Barat seluas 10 ha dan desa Rebasa Wemian kecamatan Malaka Barat seluas 32 hektar. Laporan pengaduan ini dilaporkan pada tanggal 27 Maret 2019 di bagian pengaduan lantai dua kantor  POLDA NTT. 

Turut serta dalam mendampingi tim advokasi lingkungan berbagai lembaga yang  peduli terhadap kasus pengrusakan mangrove di Kabupaten Malaka, IRGSC (Institute Resource of Governance and Social Change), JRUK Kupang (Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan- Kupang).

Melalui surat Nomor: 01/TAL-NTT/III/2019, Tim Advokasi Lingkungan melaporkan  PT. IDK dengan dugaan melanggar beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Tindak pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil UU No 27 tahun 2007 sebagaimana diatur dalam pasal 35 huruf (e) dan (g),  dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Dengan ketentuan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 73 ayat (1):; Dugaan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 50  ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Dugaan tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Direktur JPIC OFM Indonesia, P. Alsis Goa OFM menegaskan bahwa setiap proses pembangunan yang  dilakukan hendaknya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan tidak mengabaikan kondisi ekologis, budaya dan sosial masyarakat serta tata aturan perundangan yang ada. 

Namun kenyataan di Malaka, yakni aktivitas industri garam PT. IDK kuat diduga mengabaikan semua hal tersebut. Tanpa mengantongi AMDAL PT. IDK telah melaksanakan aktivitas industri garam berupa penebangan dan pembabatan hutan mangrove. Tindakan ini terindikasi dugaan tindakan pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Selain terindikasi kejahatan lingkungan hidup, pembabatan hutan mangrove juga telah menghancurkan dimensi sosial ekologis dan ruang kehidupan masyarakat adat (secara khusus masyarakat adat Wewiku). Karena bagi masyarakat adat Wewiku, mangrove bukan hanya tempat perlindungan dan perkembangbiakan biota laut, tetapi menjadi batas kehidupan dunia darat dan laut.

Selanjutnya Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi juga menegaskan bahwa PT.IDK bertanggung jawab atas kerusakan mangrove di malaka serta wajib  melakukan pemulihan lingkungan pada wilayah-wilayah yang telah dirusak. PT.IDK dinilai telah mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.  

Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan pemenuhan hak generasi yang akan datang. 

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini, maupun yang akan datang. Oleh karena itu, pemerintah provinsi harus secara tegas menegakan peraturan perundangan yang berlaku.

Umbu menegaskan pemerintah provinsi wajib secara tegas menindak PT.IDK yang melakukan pengrusakan ekosistem mangrove tanpa mengantongi AMDAL sebagai salah satu dokumen yang sifatnya vital. Dokumen AMDAL merupakan izin yang harus dimiliki oleh semua Perusahaan khususnya bagi perusahaan yang proses produksinya bersinggungan langsung dan mempengaruhi kelestarian lingkungan. Umbu menjelaskan bahwa dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ("UU No. 32/2009") dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL wajib memiliki izin lingkungan. 

Selanjutnya ditentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib menolak setiap permohonan Izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal (pasal 37 ayat (2) UU No. 32/2009). Lebih lanjut dengan tanpa adanya izin lingkungan terancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp3.000.000.000 (pasal 108 UU No. 32/2009). Kesimpulannya, tanpa adanya AMDAL tidak mungkin dapat memiliki izin lingkungan sehingga terancam dengan pidana sebagaimana diatur di dalam UU No. 32/2009.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun