Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dualisme di Tubuh DPD

17 April 2017   07:51 Diperbarui: 17 April 2017   19:00 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah upaya memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lembaga itu justru mengalami konflik internal. Saat ini pimpinan DPD bisa jadi mengalami dualisme. Satu pihak berlandaskan pada Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib. Sedang pihak yang lain berdasarkan putusan MA Nomor 38P/HUM/2016 dan Nomor 2OP/HUM/2017. Pihak yang mengacu pada Tata Tertib menyebut pimpinan DPD harus dipilih ulang sebab masa kepemimpinan lembaga itu hanya 2,5 tahun. Sedang yang berlandaskan putusan MA menyebut masa pimpinan DPD selama 5 tahun.

Lembaga negara yang lahir dari buah reformasi ini susunan dan kedudukannya diatur sangat jelas dalam UUD NRI Tahun 1945. Dari Pasal 22 C yang terdiri dari (4) ayat dan Pasal 22 D yang terdiri (4) ayat. Sebagai lembaga negara yang menyematkan nama ‘daerah’ maka lembaga ini bertugas untuk memperjuangkan kepentingan daerah, seperti masalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Meski DPD sebagai lembaga negara yang diatur dalam UUD namun keberadaan lembaga itu baik peran dan keberadaannya masih belum maksimal. Dari sinilah maka anggota DPD berupaya agar lembaga ini kedudukannya diperkuat. Selama ini disebutkan, dalam soal legislasi, lembaga itu dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rancangan undang-undang (RUU) yang terkait masalah-masalah yang telah disebut di atas. Selain dapat mengajukan RUU, DPD juga mempunyai hak ikut membahas RUU terkait, dan dapat melakukan pengawasan pelaksanaan undang-undang tentang masalah-masalah yang telah disebutkan di atas.

Kata yang menyebut ‘dapat’, ‘ikut membahas’, dan ‘dapat melakukan pengawasan’ ditafsirkan oleh pemerintah dan DPR bukan sebuah keharusan mengajak DPD dalam proses pembuatan undang-undang. Meski anggota DPD mengklaim mereka ikut berproses dalam pembuatan undang-undang namun realitanya mereka tidak melakukan hal-hal yang sifatnya menentukan. Kata-kata di atas sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh DPD namun juga dimiliki oleh masyarakat, akademisi kampus, dan lembaga masyarakat (LSM). Masyarakat, akademisi kampus, dan LSM pun ‘dapat’, ‘ikut membahas’, dan ‘dapat melakukan pengawasan’’ terhadap produk-produk legislasi. Hal demikian diakui sendiri oleh seorang anggota DPR yang mengatakan, ”kalau tugasnya seperti itu, kita (DPR) bisa menerima atau membaca dari surat pembaca di koran.” Dengan fakta yang demikian maka DPD dipandang sebelah mata oleh DPR dan pemerintah dalam proses legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Kedudukan DPD ini sangat kontras dengan kedudukan DPR. Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 20, Pasal 20 A, Pasal 21, dan Pasal 22, jelas sekali kedudukan DPR yang kuat dan sangat menentukan dalam proses-proses ketatanegaraan dan politik di negeri ini. Dalam konstitusi di Bab VII Dewan Perwakilan Rakyat ini menunjukan bahwa yang terjadi di negeri ini tidak hanya diolah dan ditentukan oleh Presiden namun juga oleh DPR.

Aturan yang tegas dan gamblang serta lingkup yang terbatas inilah yang membuat DPD selama ini tidak berperan secara maksimal dalam proses tata negara dan politik. Aturan yang demikian membuat DPD memiliki bargaining position yang rendah dan lemah di hadapan DPR, pemerintah, kekuatan politik, dan masyarakat. Tak heran bila dalam proses-proses politik nasional atau daerah, DPD ditinggalkan.

Sebagai wakil rakyat yang dipilih lewat Pemilu, proses untuk menjadi anggota DPD sebenarnya lebih sulit dibanding menjadi anggota DPR. Bila anggota DPR dipilih lewat daerah pemilihan, dua sampai lima kabupaten atau kota, maka DPD cakupannya satu provinsi. Kita bandingkan saja proses pemilihan di Jawa Timur, bila anggota DPR hanya 5 kabupaten yang berhimpitan maka anggota DPD cakupannya sangat luas dari Ponorogo yang berbatasan dengan Jawa Tengah sampai Banyuwangi yang berbatasan dengan Bali, plus Madura dan pulau-pulau-pulau kecil lainnya. Akibat yang demikian money politic yang dikeluarkan oleh calon anggota DPD bisa lebih besar daripada anggota DPR.

Ketika anggota DPD dalam proses pemilihannya memerlukan energi dan biaya yang lebih banyak dibanding DPR namun realitas politik yang diterima tidak sebanding maka membuat anggota DPD merasa resah. Mereka setiap hari pergi ke gedung parlemen dan melakukan tugas-tugas seperti dalam UUD namun tugas-tugasnya itu belum tentu diterima dan diserap oleh DPR. Dari sinilah banyak pengamat menyebut tugas DPD tidak jelas. Sebutan yang demikianlah yang membuat anggota DPD resah. Lemahnya kedudukan juga membuat DPD selama ini digunakan orang hanya untuk mengisi waktu selepas dari DPR atau digunakan anggota DPD sebagai batu loncatan untuk ke DPR.

Agar mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat maka DPD ingin melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang bertujuan agar lembaga itu setara dengan DPR. Namun dalam proses penguatan tersebut ada masalah-masalah yang sepertinya membuat DPD belum beranjak dari kedudukannya saat ini.

Kalau kita amati, DPD di bawah pimpinan Irman Gusman, pria ini pernah menjadi Wakil Ketua DPD 2004-2009, Ketua DPD 2009-2014, dan terpilih lagi menjadi Ketua DPD 2014-2019, dalam masa-masa kepemimpinan dirinya, sepertinya Irman Gusman tidak pernah berjuang dengan keras agar kedudukan DPD lebih baik. Sepertinya tidak pernah terlihat ia begitu massif melobby MPR dan DPR serta partai politik untuk melakukan amandemen UUD untuk penguatan DPD. Justru Irman Gusman sepertinya lebih asyik dengan sendirinya, seperti mengiklankan diri menjadi calon presiden maupun iklan yang lain di televisi-televisi. Di sini terlihat ia menggunakan lembaga yang dipimpinnya untuk kepentingan pribadi. Puncak dari lebih mengedepankan kepentingan pribadi terbukti saat ia terkena OTT KPK sehingga kepemimpinannya yang harusnya selesai pada tahun 2019 berakhir pada 2017.

Tidak beranjaknya kedudukan DPD tidak hanya oleh masalah internal: tak maksimalnya kepemimpinan DPD selama ini, diperparah dengan rebutan pimpinan yang terjadi saat ini; juga dikarenakan keengganan dukungan wakil rakyat yang berada di DPR dan partai politik. Secara ego, anggota DPR tidak mau kewenangan dan tugas yang dimiliki yang demikian luas dan power disaingi atau diberikan kepada DPD. Bila ada saingan dalam masalah kekuasaan tentu hal yang demikian akan menurunkan derajad bargaining position DPR kepada pemerintah dan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun