Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Kebablasan, Aturan atau Rakyatnya?

6 Maret 2017   07:53 Diperbarui: 6 Maret 2017   08:43 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat menghadiri pelantikan pengurus Partai Hanura, Presiden Joko Widodo mengatakan demokrasi di Indonesia mengalami kebablasan. Akibat yang demikian maka demokrasi membuka peluang artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sekterianisme, terorisme serta ajaran yang tak sesuai dengan Pancasila. Untuk mengatasi yang demikian, menurut Joko Widodo perlu penegakan hukum yang tegas.

Apa yang dikatakan Presiden itu bisa jadi benar di mana sekarang kita hidup serba penuh kebebasan. Di media sosial atau di media massa, masyarakat bebas mengungkapkan pendapatnya mengenai berbagai hal, mulai dari urusan lingkungan terkecil hingga urusan masalah negara. 

Kalau kita cermati, masa sekarang, masa yang boleh disebut dengan masa reformasi, adalah sebuah masa yang berkebalikan dengan masa sebelumnya, Orde Baru. Dalam masa yang dipimpin oleh Presiden Soeharto itu, bangsa ini mengalami ketertutupan informasi, masyarakat tak bebas mengungkapkan pendapat, jumlah peserta pemilu dibatasi tiga, dan segala bentuk kekritisan kepada pemerintah langsung ditindak oleh aparat dan penegak hukum.

Masa kelabu demokrasi di Indonesia yang seperti itu menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada penguasa. Hal yang demikian ingin didobrak dan diubah oleh tokoh intelektual dan mahasiswa. Lewat gerakan reformasi tahun 1998, maka Orde Baru tumbang. Tumbangnya orde itu diharapkan memunculkan suasana baru yang tidak seperti pada masa sebelumnya. 

Langkah-langkah di awal reformasi adalah mencabut aturan-aturan atau undang-undang yang sifatnya membelenggu. Undang-undang partai politik yang hanya membatasi 3 peserta pemilu diganti dengan aturan baru yang intinya memberi kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai politik dan berhak mengikuti Pemilu 1999. Dari sinilah maka ada 48 partai politik peserta pemilu. Jumlah peserta pemilu tahun 1999 melebihi jumlah Pemilu 1995, 29 partai, sebuah pemilu pertama di Indonesia dan disebut yang paling demokratis. 

Untuk lebih menyakinkan bahwa era baru ini berbanding terbalik dengan Orde Baru maka perlu ada perubahan yang fundamental. Bila pada masa sebelumnya kekuasaan di tangan MPR, DPR, dan Presiden maka bentuk seperti itu perlu diganti. Lewat amandemen UUD Tahun 1945 banyak sekali terjadi perubahan dalam sistem tata negara kita, di mana rakyat ditempatkan sebagai pemegang kedaulatan utama.

Perubahan yang terjadi dalam UUD dalam Bab I, Pasal 1 ayat (2) yang dulu menyebut kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah, dalam bab, pasal, dan ayat yang sama menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Perubahan inilah yang menjadi pintu masuk bagi demokrasi yang bertumpu pada rakyat, person. Bertumpunya pada rakyat, kedaulatan rakyat, bisa dilihat dari UUD NRI Tahun 1945 Bab VIIB, Pemilihan Umum. Dalam Pasal 22E yang terdiri dari (6) ayat mengatur tentang pemilu. Pemilu yang memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Pemilu yang diselenggarakan diatur oleh undang-undang. 

Dari bab, pasal, dan ayat yang ada di UUD NRI Tahun 1945 itulah demokrasi di Indonesia berkembang. Demokrasi itu ditandai oleh partisipasi rakyat lewat pemilu. Adanya kewajiban menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali dan perlunya adanya aturan yang mengatur lewat undang-undang. Undang-undang yang dibuat oleh  DPR yang selalu berubah setiap ada kepentingan politik inilah yang membuat demokrasi mengalami pasang surut.

Saking semangatnya menjunjung kedaulatan rakyat maka pemilu yang ada di Indonesia mengembang tidak hanya memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD namun juga memilih kepala daerah (Pilkada): gubernur, bupati, dan walikota. Dan rencananya semua pemilu itu akan dilakukan secara serentak. Masalah yang ada sepertinya semuanya diselesaikan lewat pemilu.  

Banyaknya Pemilu yang terjadi tentu dinamika demokrasi yang terjadi demikian  ramainya. Sebelum ada Pilkada serentak, di Indonesia setiap hari ada Pilkada. Setiap hari ada partai politik yang bertarung. Betapa riuhnya bangsa ini bila setiap hari ada hajatan demokrasi. Berapa banyak uang digelontorkan untuk urusan ini bila setiap hari ada Pilkada. Sebagai pemilu dan ajang pertarungan politik maka berbagai hal dilakukan, tidak hanya program visi dan misi serta pencitraan namun juga money politic, kampanye hitam, juga menggunakan perangkat kekuasaan dan penyelenggara pemilu itu sendiri. Akibat yang demikian maka dalam setiap pemilu bisa saja terjadi seperti apa yang dikatakan Presiden, yakni nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila. 

Wajah demokrasi yang berkembang saat ini merupakan implementasi dari aturan yang ada yang memang sangat longgar bagi masyarakat untuk ikut mengembangkan demokrasi. Masyarakat dengan mudah bisa mendirikan partai politik. Tak heran bila menjelang pemilu lima tahunan ada partai baru. Lahirnya partai baru ditambah kebebasan menyampaikan pendapat membuat demokrasi yang ada menjadi sangat ramai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun