Keangkeran yang melanda membuat masyarakat lebih memilih diam di rumah. Mereka tak mau tertular wabah dusta. Di dalam rumah mereka melakukan ritual-ritual agar mangsa hitam tidak mendatangi rumah yang membawa wabah dusta. Akibat yang demikian, pasar menjadi sepi. Alun-alun yang biasanya menjadi tempat lalu lalang menjadi lengang. Warung-warung tuak yang kerap dipadati kaum lelaki, banyak yang tutup.
Wabah dusta yang tak tertangani itulah yang membuat penduduk banyak yang melarikan diri namun sayang pelarian yang ada terkadang tidak sampai membuat mereka bisa lepas dari wabah dusta. Mangsa hitam mengejar mereka hingga wabah dusta itu masuk ke dalam raga. Raja Singa dan para abdinya tak bisa berbuat banyak, seolah-olah mereka hanya menunggu peruntungan nasib agar wabah dusta sirna. Namun entah kapan peruntungan itu tiba, tidak ada yang tahu termasuk para dukun sakti.
Lamban laun satu persatu penduduk di sana mati dimangsa wabah dusta. Raja Singa juga mengalami hal yang sama. Tak satupun orang tersisa di Pulau Ingkar sehingga pulau itu menjadi kosong, tak berpenghuni. Mampu bertahan di sana hanya ular, kalajengking, buaya, tikus, babi, dan hewan-hewan malam lainnya.
Lepas dari wabah dusta itulah yang membuat Aku, Kamu, Dia, Kita, dan Sapa merasa bahagia meski perjalanan menuju ke Pulau Kehidupan banyak tantangan dan godaan.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba angin bertiup kencang, lamban laun menjadi badai. Ombak yang awalnya datar berganti menjadi gelombang. Perahu yang mereka tumpangi pun tak sekadar terayun-ayun namun terombang-ambing tak karuan. Menghadapi badai samudera yang menghadang, membuat Aku memerintahkan kepada Dia dan Sapa menggulung layar. Kamu dan Kita pun berdekapan sambil memperlihatkan ketakutan yang sangat luar biasa. Kamu dan Kita bergumam, apakah mereka masih bisa selamat hingga ke Pulau Kehidupan.
Badai terus mendera, ombak tinggi masih melontarkan perahu. Di tengah suasana yang kacau, Aku sepertinya merapalkan kalimat-kalimat yang entah apa isi dan bunyinya. Meski Aku sudah memohon keselamatan kepada Raja Laut namun sepertinya kebiasaan alam itu tak reda. Mereka pasrah hingga bila maut menjemputnya, itulah akhir dari pelarian menghindar dari wabah dusta.
Sepertinya keberuntungan mendatangi para penumpang perahu itu. Perlahan badai dan gelombang tinggi menghilang. Alam menjadi cerah dan gelombang laut pun menjadi datar. Perubahan alam yang demikian membuat mereka bahagia. Aku dan Kita terlihat saling berpelukan. Pun demikian Dia dengan Kamu juga melakuakan hal yang demikian. Sapa melihat hal yang demikian hanya bisa termenung. Dirinya membayangkan Jika, kekasihnya. Sapa sebenarnya ingin mengajak Jika untuk pergi dari Pulau Ingkar namun di tengah hutan menuju ke tepi laut, tiba-tiba Jika mulutnya membengkak, mengeluarkan bau busuk, dan meracau tidak karuan. Sadar mangsa hitam membuntuti mereka, Aku, Dia, Sapa, Kamu, dan Kita, menjadi cemas. Wabah dusta itu mampu menjerat Jika.
Di tengah kecemasan, terjadi perselisihan antara Aku dengan Sapa. Aku mengajak semua untuk meninggalkan Jika namun Sapa menolak. Sebab kekasihnya tentu meninggalkan Jika adalah bukti ketidaksetiaan bagi Sapa. Untuk itu Sapa ingin tetap menenami Jika yang tengah terkena wabah dusta. "Ayo Sapa kita tinggalkan Jika demi kamu dan kita", ajak Aku. "Tidak, aku akan tetap bersama Jika", sanggah Sapa. "Tapi ini masalah kehidupan kita", Aku kembali merayu. "Tidak, aku akan tetap di sini bersama Jika", Sapa kembali menyanggah. Di tengah perselisihan tampak Jika meracau dengan kalimat yang tak jelas dan tumpang tindih.Â
Mulutnya mengeluarkan bau yang tak sedap, seperti bau bangkai. Melihat hal yang demikian, Aku dan Dia pun menyeret Sapa. Sapa berontak dan menyebut nama Jika berulang. Kuatnya tenaga Aku dan Dia membuat Sapa tak mampu melawannya. Mereka pun meninggalkan Jika yang tengah sekarat terkena wabah dusta yang disebarkan oleh mangsa hitam. Apabila mereka tidak segera pergi, wabah-wabah dusta itu akan semakin liar dan menyerang gerombolan manusia di sekitarnya.
Laut kembali tenang, perahu itu kembali berlayar dengan anteng-nya. Hari menjelang malam, tiba-tiba dari kejauhan terlihat perahu dari arah depan. Mereka gembira bertemu perahu lain dengan harapan bisa meminta bekal tambahan. Lamat-lamat perahu semakin mendekat. Terlihat di perahu itu ada tiga orang. Dua lelaki mendayung, di tengah perahu terlihat sesosok perempuan namun raut mukanya ditutupi kain putih.
Saat berpapasan, Aku menyapa, "hendak ke mana ki sanak?". Mendapat pertanyaan yang demikian, laki-laki pendayung yang duduk di depan dengan wajah yang datar mengatakan, "mau menuju ke langit". Mendapat pertanyaan yang demikian, Aku kaget. Di tengah samudera ada orang yang mengatakan menuju ke langit. Dirinya teringat pesan nenek moyang, bila di tengah samudera akan ada godaan yang sifatnya mengelabui dan membohong yang dilakukan oleh makhluk lain.