Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wabah Dusta, Ketika Penguasa Gunung Langit Murka

13 April 2021   10:48 Diperbarui: 13 April 2021   11:39 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memandang lautan luas dengan seksama. Dilihatnya ombak yang ada tidak terlalu besar. Angin yang berhembus pun bertiup dengan tidak menimbulkan kekhawatiran bagi mereka yang ingin pergi ke samudera. Saat Aku mengamati alam, Kamu, Dia, Sapa, dan Kita tengah mempersiapkan bekal dan perahu yang hendak mereka tumpangi. Setelah Aku merasa bahwa pergi berlayar aman, ia segera berbalik badan menuju Kamu, Dia, Sapa, dan Kita.

"Bagaimana apakah kita bisa pergi sekarang?", tanya Kamu kepada Aku setelah berada di antara mereka. "Bisa, mudah-mudahan samudera tetap bersahabat dengan kita sehingga perjalanan cepat sampai pulau tujuan", ujar Aku. "Kalau semua sudah siap, saatnya berangkat", tambah Aku kepada mereka. Aku menyuruh Dia dan Sapa untuk mengangkat perahu ke tepi laut. Sebagai lelaki, Aku, Sapa, dan Dia bergegas mengangkat tumpangan mereka segera menyentuh deburan air laut. Terlihat Kamu dan Kita berjalan di belakang ketiga laki-laki itu. Kamu dan Kita membawa kantong yang berisi ubi, daun pepaya, dan air yang ada dalam kendi. Bekal yang mereka bawa diharap mampu menjadi penyambung hidup saat berada di tengah samudera.

Senyum harapan tersungging di wajah mereka saat perahu menyentuh air laut. Aku segera menyuruh Kamu dan Kita segera naik. Dengan dibantu Dia dan Sapa, dua perempuan itu akhirnya berada di atas perahu. "Ayo kita dorong lebih maju", ajak Aku kepada Dia dan Sapa agar perahu mengapung dan terseret ombak menuju samudera.

Setelah mendorong lebih jauh, Aku, Dia, dan Sapa segera melompat ke perahu agar mereka tidak lebih dalam berada di air. Saat semua sudah berada di perahu, ombak menyeret perahu menuju lebih tengah. Layar yang ada dikembangkan sehingga benda yang mengapungkan mereka itu lebih cepat melaju. Lamban laun, Pulau Ingkar yang selama ini mereka huni mengecil hingga akhirnya tertelan oleh luasnya samudera.

Di tengah gelombang yang semakin tinggi dan angin yang kencang, di wajah kelima anak manusia itu terlihat raut kecemasan dan harapan. Cemas karena khawatir perahu yang mereka tumpangi tidak akan mampu membawa sampai Pulau Kehidupan. Pulau itu jaraknya sangat jauh. Menurut nenek moyang mereka, untuk mencapai Pulau Kehidupan memerlukan waktu 3 malam. Selama perjalanan akan menghadapi berbagai macam tantangan alam, gelombang dahsyat, pusaran mematikan, dan angin kematian; tak hanya itu, godaan makhluk jahat yang membohongi dan mengelabui setiap orang yang melintas di samudera, setiap saat bisa menghadang.

Sedang raut wajah harapan terpancar pada muka mereka karena lepas dari wabah dusta. Mereka meninggalkan Pulau Ingkar sebab di sana tengah dilanda wabah dusta. Wabah dusta menjalar begitu cepat dari satu orang ke orang lainnya. Bila orang tertimpa wabah itu, mulutnya langsung membengkak, mengeluarkan bau busuk, dan meracau tidak karuan. 'Wong pinter' alias dukun yang ada di Pulau Ingkar belum menemukan jampi-jampi yang mujarab atas wabah yang ada. Semua, termasuk Raja Singa, hanya bisa pasrah atas wabah yang melanda.

Konon wabah itu muncul sebab mereka yang berada di Pulau Ingkar tidak menepati janji kepada Penguasa Gunung Langit. Sebelumnya antara mereka yang berada di Pulau Ingkar dan Penguasa Gunung Langit mengadakan Perjanjian Sambung Nyawa. Dalam perjanjian yang disaksikan para Lelembut, penduduk yang diwakili oleh Raja Singa bersedia memberikan hasil panen dan upeti kepada Pengusasa Gunung Langit dan gantinya Penguasa Gunung Langit akan memberikan hujan, cahaya matahari, angin, dan ketentraman pada para penghuni Pulau Ingkar. Setelah Perjanjian Sambung Nyawa diberi tetesan darah dari Raja Singa, para Lelembut abdi Penguasa Gunung Langit langsung berubah menjadi sosok-sosok manusia. Mereka diberi perintah untuk mengawasi Perjanjian Sambung Nyawa.

Dalam perjalanan waktu, rupanya Raja Singa dan penduduk yang berada di sana, ingkar. Mereka tidak hanya tak mau memberikan hasil panen namun mereka juga sombong. Dengan congkak mereka mengatakan, semua keberuntungan yang mereka raih didapat dari hasil usaha sendiri bukan karena Perjanjiang Sambung Nyawa dengan Penguasa Gunung Langit.

Dilanggar perjanjian yang telah disepakati, membuat Penguasa Gunung Langit murka. Dirinya mengutus Lelembut yang telah menjelma manusia kembali menjadi demit, jin, iblis, setan, dan berubah menjadi wabah dusta. Penguasa Gunung Langit memerintahkan para abdinya itu untuk masuk ke dalam raga manusia agar menjadi manusia terkutuk.

Tobat yang dihembus-hembuskan oleh penduduk Pulau Ingkar dan Raja Singa tak membuat Penguasa Gunung Langit tersentuh batinnya. Penguasa Gunung Langit kecewa atas ingkarnya Raja Singa dan penduduk Pulau Ingkar. Dirinya bersumpah mengutuk mereka yang berada di sana hingga bayi perempuan terakhir.

Di tengah wabah yang melanda, Raja Singa dan para abdinya saling menyalahkan, saling kutuk satu dengan yang lain sehingga di Pulau Ingkar tak hanya wabah dusta namun juga kegaduhan kekuasaan. Suasana yang demikian membuat Pulau Ingkar seperti dirundung mangsa hitam. Satu persatu orang meninggal akibat wabah yang tak bisa disembuhkan. Angker, mencekam, dan mangsa hitam berkeliaran di pulau itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun