Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kudeta atau Konflik Partai?

1 April 2021   13:22 Diperbarui: 1 April 2021   13:55 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada yang menarik ketika terjadi kudeta militer di Myanmar. Di mana seorang instruktur aerobik dengan asyiknya dan tidak tahu apa yang terjadi, tetap asyik bergoyang mengikuti irama Ampun Bang Jago untuk bersenam ceria. Padahal di belakang dirinya, di kawasan Gedung Parlemen Myanmar, di Naypyitaw, tengah terjadi kejadian yang luar biasa, yakni kudeta militer pengambilalihan kekuasaan yang sah secara paksa.

Antara militer dan perempuan instruktur aerobik tersebut memang tidak terjadi komunikasi. Perempuan itu memang benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi ketika dirinya melakukan aerobik. Tak heran bila ia tetap santai saja ketika para tentara dan kendaraan lapis bajanya hilir mudik di belakangnya. Ia berpikir mungkin para tentara tengah melakukan pengamanan biasa. Dan pihak militer pun pastinya juga tidak akan memberi tahu kepada perempuan itu kalau mereka sedang melakukan kudeta.

Dalam kudeta yang dilakukan oleh militer, mereka selalu melakukan dengan diam-diam, senyap, dan tiba-tiba sehingga suasana yang terjadi serba mendadak dan cepat. Akan salah bila kudeta yang dilakukan lebih dahulu diumumkan atau disiarkan. Bila kudeta dilakukan secara terbuka, diumumkan, maka akan terjadi kepanikan atau perlawanan dari rakyat secara langsung. Dan perempuan yang sedang melakukan aerobik itu pastinya tidak akan melakukan senam di kawasan parlemen bila tahu akan terkadi kudeta. Pastinya ia memilih diam di rumah untuk mencari jalan aman bila sewaktu-waktu ada desingan peluru melesat.

Kudeta yang dilakukan secara diam, senyap, dan tiba-tiba juga pernah terjadi pada tahun 1965 di negeri ini. Dsebut banyak pihak yang tidak mengetahui rencana itu. Sebab dilakukan secara diam-diam, senyap, dan tiba-tiba maka kejadian terjadi secara cepat dan mendadak sehingga menimbulkan korban dari para petinggi AD. Mungkin bila kudeta diumumkan sehari sebelumnya, pastinya akan ada perlawanan dan rencana yang hendak dilakukan pastinya akan mengalami kegagalan.

Saat terjadi pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat pada tahun 1981, saat perayaan kemenangan Mesir dalam Perang Yom Kippur, di mana pada hari itu digelar parade militer, upaya pembunuhan yang terjadi pada Anwar juga direncanakan secara diam-diam, senyap, dan tiba-tiba sehingga ratusan undangan yang berada di sekitar Anwar tidak tahu apa yang terjadi. Sama seperti instruktur aerobik di Myanmar tadi. Namun karena dilakukan secara diam-diam, senyap, dan tiba-tiba, maka rencana pembunuhan terhadap Anwar bisa sesuai target.

Strategi militer dan masyarakat sipil (politisi) dalam mengambil alih kekuasaan, tentu berbeda. Bila militer melakukan kudeta dengan diam-diam, senyap, serta tiba-tiba, maka kalangan sipil melakukan hal yang demikian secara terbuka sebab keterbukaan merupakan bagian dari demokrasi. Beda dengan organisasi militer yang tidak mengenal keterbukaan dan demokrasi dalam melaksanakan tugasnya.

Keterbukaan yang dilakukan oleh masyarakat (politisi) itulah yang membuat setiap rencana yang dilakukan cepat diketahui. Misalnya saja ketika, kalangan sipil hendak melakukan suatu acara, pastinya perijinan dan tetek bengek-nya, sudah dan sedang dipersiapkan sehingga aktivitasnya diketahui oleh banyak orang dan media. Pihak-pihak yang mengetahui hal demikian, bila ada lawan, maka sang lawan akan segera menyusun perlawanan atau tandingan sehingga acara yang digelar pihak lain itu bisa dikatakan inskonstitusional atau ilegal.

Kalangan sipil tidak akan bisa melakukan kudeta seperti yang dilakukan oleh militer. Masalahnya bukan kalangan sipil tidak memiliki senjata namun karena masalah kepemimpinan saja. Di militer, ada satu komando yang bisa memerintah pasukan untuk bergerak atau tutup mulut dalam operasinya. Namun sikap yang demikian tidak bisa dilakukan oleh kalangan sipil. Kalangan sipil disusun oleh banyak orang dan mereka mempunyai kebiasaan tidak bisa menutup mulut dalam rencana. Di kalangan militer, semua mempunyai satu tujuan, yakni demi institusi namun di kalangan masyarakat sipil dan politisi, masing-masing mempunyai kepentingan. Meski mereka mempunyai tujuan yang sama namun kepentingannya berbeda-beda.

Dari sinilah, politisi tidak bisa menutup mulut terhadap rencana yang hendak dilakukan. Keterbukaan dari mereka itulah yang membuat apa yang hendak dilakukan, sudah diketahui oleh pihak lain. Berbeda dengan militer yang melakukan semua rencana dengan tertutup sehingga banyak orang yang tidak tahu apa yang hendak dilakukan. Guru aerobik di Myamar tadi pun juga tidak tahu apa yang akan terjadi di tempat dirinya biasanya melakukan senam ceria itu.

Jadi bila ada politisi menyebut ada pihak lain yang ingin mengkudeta posisinya sebagai ketua umum, ungkapan yang demikian bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia masih terbilang tepat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan ku.de.ta mempunyai arti perebutan kekuasaan (pemerintahan) dng paksa. Dijelaskan lagi me.ngu.de.ta v melakukan perebutan kekuasaan dng paksa dan tidak secara sah. Namun dari makna yang menyempit, kudeta kerap digunakan pada aktivitas pengambilalihan kekuasaan oleh militer sebab ia mempunyai daya paksa yang kuat (dengan menggunakan senjata dan pasukan).

Sementara kalangan politisi tidak memiliki hal yang demikian sebab ia tidak memiliki daya paksa yang kuat. Kalau pun mempunyai daya paksa yang kuat, pihak yang lain pun memiliki hal yang sama sehingga yang terjadi adalah konflik. Konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan, n 1 percekcokan; perselisihan; pertentangan. Akibat konflik adalah melahirkan dualisme kepengurusan. Konflik bisa terjadi sebab dua kelompok memiliki daya paksa yang sama. Sedang kudeta, salah satu pihak lemah, sedang pihak yang lain kuat, sehingga salah satu phak menjadi takluk.

Dari makna di sini tidak tepat kalau di Myanmar dikatakan terjadi konflik kekuasaan sebab ada kekuatan yang bisa memaksa salah satu pihak untuk tunduk. Tidak tepat pula kalau Agus Harimurti Yudhoyono menyebut Partai Demokrat dikudeta, sebab ada dua kubu yang sedang bercekcok atau berselisih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun