Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jimbaran, Kampung Mahasiswa yang Jadi Tempat Wisata

4 November 2019   11:32 Diperbarui: 4 November 2019   11:49 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang sore Cultural Park Garuda Wisnu Kencana (GWK), Ungasan, Badung, Bali, terlihat ramai. Wisatawan dalam negeri dan luar negeri terlihat hilir mudik di kawasan itu. Bukti tempat wisata baru di Pulau Dewata itu ramai terlihat di tempat penjualan tiket yang ada.

Beberapa loket yang tersedia terlihat barisan pengunjung yang lumayan panjang. Barisan yang tersusun beragam etnis dan bangsa antri membeli tanda masuk. Saya memilih barisan di mana loket yang cepat melayani pembelian. Akhirnya memilih bagian paling kanan. Di atas loket tertera uang yang harus saya keluarkan. Tapi tunggu dulu, uang sebanyak itu belum cukup bila kita hendak berada tepat di bawah monument GWK. Bila ingin persis di bawah patung raksasa yang keberadaannya bisa dilihat dari Bandar Udara Ngurah Rai, Sanur, Tanjung Benoa, Nusa Dua, bahkan Tanah Lot, kita harus mengeluarkan uang tambahan. Uang tambahan ini digunakan untuk naik Bus GWKLoop, semacam Bu Wira-Wiri di Ancol Jakarta, yang akan mengangkut penumpang dari samping bangunan penjualan tiket hingga persis di bawah GWK.

Naik GWKLoop diberlakukan sebab akses yang ada sebelumnya ditutup sehingga pengunjung tak bisa mendekat ke GWK. Pengunjung yang tidak ingin menambah biaya bisa saja memasuki area GWK namun bukan berada di area yang persis di bawah monument itu.

Setelah memiliki tanda tiket berupa lembaran yang digelangkan di tangan dan tanda karcis Bus GWKLoop, saya bergegas menuju antrian naik bus. Antrian menjulur dua baris dua kolom. Di antrian ini beragam wisatawan, tidak hanya wisatawan domestik dan bule namun juga negara Asia, seperti Srilangka. Antrian bergerak berdasarkan kedatangan bus. Semakin bus cepat datang, antrian semakin cepat. Syukur bus yang ada cepat datang sehingga tidak terlalu lama menunggu.

Setelah dipersilahkan naik bus yang ada dan diikuti penumpang yang lain, setelah kursi yang ada terisi, bus berwarna merah itu bergerak meninggalkan tempat. Bus keluar meninggalkan pintu gerbang area pembelian tiket. Pergerakan bus ini sepertinya memutar dari jalur biasa. Jarak antara titik awal dan sampai lokasi di bawah GWK tidak terlalu jauh namun kalau jalan kaki bisa menguras keringat apalagi jalannya naik turun.

Naik-turun ditambah berkelok membuat di titik tertentu, salah satu bus harus mengalah atau jalan pelan agar tidak senggolan. Perjalanan yang relatif singkat tadi akhirnya membawa pengunjung persis di bawah patung karya Nyoman Nuarta. Betapa takjub kita berada persis di bawah patung yang dirintis sejak tahun 1997. Patung raksasa yang menggambarkan Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda. Patung yang berwarna kehijauhijauan itu membentang besar di langit. Saking besar dan berada pada posisi yang menjulang, apalagi di dataran tinggi, membuat patung ini terlihat dari jarak yang sangat jauh. Disebut bisa dipandang hingga jarak 20 km. Patung yang mempunyai berat hingga 4.000 ton, tinggi 75 meter, dan lebar 60 meter, itu dikatakan menjadi patung terbesar di Asia dan mengalahkan patung yang lebih popular duluan, Patung Liberty.

Keberadaan GWK yang berada di Ungasan namun juga ada yang mengatakan masuk kawasan Bukit Jimbaran menambah salah satu tujuan wisata di Bali. Hadirnya GWK menambah keramaian wisata di Bali bagian selatan. Kondisi yang demikian membedakan kawasan itu dengan masa 20 tahun-an sebelumnya. Sebelum ada GWK dan pengembangan wisata di Bali selatan, Jimbaran, Bukit Jimbaran, dan sekitarnya adalah kawasan yang terbilang sepi dan tak menarik. Hal demikian bisa terjadi sebab kawasan ini merupakan kawasan bukit tandus, berhawa panas, cadas, dan kering sehingga masyarakat yang ada di sana kesulitan air. Untuk mendapatkan air harus membeli dari mobil tangki. Hamparan ladang ditumbuhi pepohonan yang hidup segan mati tak mau lebih banyak dijumpai sapi bali yang berkeliaran atau diikat oleh seulas tambang. Sapi-sapi itu adalah bagian dari kekayaan penduduk yang tinggal di kawasan yang disebut Bukit. Suasana Bukit Jimbaran, Ungasan, dan sekitarnya bernuansa beda hanya ketika musim hujan tiba. Dalam musim ini, tumbuh rerumputan hijau dan pohon-pohon merekah rindang.

Kawasan ini, Bukit Jimbaran, awalnya digunakan untuk pengembangan Universitas Udayana termasuk Politeknik Negeri Bali. Para mahasiswa dari kedua kampus itulah yang sejak awal tahun 1990-an meramaikan dan mengisi kehidupan Bukit dan sekitarnya. Di saat sore, para mahasiswa yang kos atau tinggal di sana menggunakan waktu senggang untuk menyusuri bukit-bukit cadas bahkan sampai Cultural Park yang masih pada taraf dimulainya pembangunan. Bila memiliki sepeda motor, naik angkot atau jalan, mereka bisa ke Pantai Jimbaran dan menyusuri pantai itu.

Salah seorang mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Udayana, menceritakan dirinya sering jalan-jalan menuju ke kawasan yang sekarang menjadi Cultural Park GWK. Ia bersama teman berangkat dari tempat kos yang berada di samping kampus Bukit Jimbaran melewati jalan setapak, jalan kampung, menuju ke Cultural Park. "Lewat jalan kecil di kampung, bukit kapur, sambil cari mangga", ujarnya. Tiba di sana, saat itu, ia melihat patungnya masih belum dipasang, masih potongan-potongan.

Hadirnya GWK berimbas pesat bagi perkembangan wisata di Bali termasuk pada keramaian wisata Pantai Jimbaran. Jimbaran merupakan salah satu lintasan menuju ke Cultural Park selain lewat jalur kampus Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. Bagi wisatawan akan lebih menyenangkan bila melintasi jalan yang berada di Jimbaran sebab di sini juga tempat wisata, pengembangan dari Legian, Kuta. Sejak tahun 1990-an, tumbuh subur hotel, home stay, atau penginapan melati dan sarana pendukungnya seperti artshop, jasa transportasi, restoran, dan lain sebagainya.

Kawasan Jimbaran, Kedonganan, dan sekitarnya dulu merupakan 'kampung mahasiswa'. Mahasiswa yang kuliah di Universitas Udayana, Politeknik Negeri Bali, bahkan Sekolah Tinggi Pariwisata yang ada di Nusa Dua, memenuhi rumah penduduk untuk kos. Separuh rumah penduduk di sana disewakan untuk mahasiswa yang berasal dari seluruh penjuru nusantara itu. Mereka tinggal bersama penduduk setempat dalam rumah yang sama namun beda kamar.

dokpri
dokpri
Pada masa itu, selepas jam 15.00, para penghuni kos pergi ke pantai. Di pantai mereka bertemu dengan mahasiswa lainnya, penduduk lokal, dan wisatawan sehingga setiap sore Pantai Jimbaran ramai riuh rendah orang berenang, main bola, membuat patung pasir, olahraga lari, duduk-duduk sambil menikmati matahari tenggelam, sunset. Selepas matahari tenggelam di ufuk barat, mereka meninggalkan pantai yang bersinggungan langsung dengan landasan pacu Ngurah Rai itu.

Sekarang wilayah Jimbaran dan Kedonganan tidak lagi ditempati mahasiswa. Mereka sepertinya memilih tinggal di Denpasar atau sekalian di Bukit. "Sekarang tidak ada lagi mahasiswa", ujar salah seorang nelayan yang sore itu hendak melaut. Kawasan pantai itu sekarang lebih banyak dikunjungi wisatawan. Salah seorang pedagang jagung yang sore itu mangkal di atas pasir putih pantai itu mengatakan, wisatawan luar yang sering ke pantai ini berasal dari China, Rusia, dan Australia. Terlihat sore itu ada beberapa bus yang mengangkut wisatawan dari China. Para wisatawan saat di pantai tampak menikmati ombak yang merayap ke pasir putih. Di antara turis dari China yang tengah berselfi dan menikmati pantai, terlihat beberapa bule tengah menjemur diri.

dokpri
dokpri
Meski mahasiswa sudah tidak ada lagi di Jimbaran dan Kedonganan namun di kawasan itu masih bertahan para nelayan. Menurutnya pantai panjang itu dibagi-bagi ada tempat wisata dan kampung nelayan. "Dibagi menjadi caf, restoran, dan tempat nelayan", ujarnya. Banyaknya caf dan restoran itulah yang membuat pantai itu ramai di saat malam hari. Bila malam tiba, wisatawan baik rombongan paket tour atau perorangan, datang ke sana untuk menikmati berbagai menu ikan bakar. Mereka menikmati santap makan malam boleh memilih tempat, di dalam restoran atau di atas pasir putih sambil menikmati buih-buih putih ombak, melihat kerlap kerlip Ngurah Rai, naik turunnya pesawat, atau kerlap kerlip lampu di Bukit.

Sebelum kawasan itu menjadi kawasan wisata dan kampung mahasiswa, memang dari dulu menjadi tempat para nelayan. Buktinya di Kedonganan ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Di sana dari dulu puluhan perahu tradisional hilir mudik untuk mencari ikan. Pemandangan sebagai kampung nelayan terlihat bila kita berada di pesawat. Saat take off atau landing di Ngurah Rai, perkampungan nelayan itu terlihat jelas. Salah seorang nelayan mengatakan mereka mencari ikan hingga sampai ke Banyuwangi dan Uluwatu. Berangkat ke laut mulai pukul 16.00 dan kembali ke darat pukul 07.00. "Ikan yang didapat biasanya tembuk atau layaran", ujar pria yang mengaku sudah menjadi nelayan selama 35 tahun itu. Sebagai nelayan tradisional dengan kapal yang tidak besar, mereka mengaku tidak melaut bila ombak besar.

Untuk menampung hasil tangkapan, di TPI itu ada rumah makan-rumah makan yang menampung hasil jerih payah para nelayan. Di rumah makan itu hasil tangkapan disajikan dalam berbagai menu ikan bakar. Sore itu terlihat rumah makan yang ada disesaki oleh pengunjung. Mereka sepertinya wisatawan lokal yang ingin menikmati suasana Pantai Jimbaran. Menurut tukang parkir yang berada di area TPI, bila malam Minggu, kawasan itu ramai dan penuh pengunjung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun