Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jadi Menteri untuk Siapa?

11 Juli 2019   08:58 Diperbarui: 11 Juli 2019   09:15 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amien terbentuk, sudah gaduh terdengar dari berbagai pihak untuk meminta jatah menteri. Mereka yang berteriak dengan lantang dan secara terbuka menyatakan meminta jatah menteri karena merasa mempunyai kontribusi yang besar atas kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amien. Saking semangatnya mereka meminta jatah menteri, tidak hanya satu, dua, tiga kursi, bahkan sampai 10 kursi dan memilih pos-pos menteri mana yang dipilih.

Rebutan jatah menteri tentu kelak akan menjadi berita yang menarik, headlines, dan gorengan politik banyak pihak sebab pastinya semua merasa mempunyai kontribusi atas kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amien. Keinginan untuk mengajak rival, koalisi pengusung Prabowo-Sandi, masuk ke dalam kekuasaan, juga membuat partai politik (parpol) koalisi pengusung Joko Widodo merasa terancam posisinya sebab ia berpikir, jangan-jangan jatah menterinya direbut.

Untuk mendinginkan suasana, akhirnya ada yang mengatakan bahwa pengangkatan menteri merupakan hak prerogratif Presiden sehingga siapa saja menteri yang dipilih dan ditunjuk, Presiden-lah yang menentukan dan memutuskan.

Bagi-bagi kekuasaan adalah hal yang lumrah dari sebuah proses politik. Proses merebut kekuasaan lewat Pemilu, tidak mungkin dilakukan sendiri. Bahkan dalam aturan yang ada, baik UUD maupun aturan di bawahnya, jelas diatur untuk mengusung calon Presiden-Wakil Presiden diatur dengan syarat-syarat yang jelas, seperti 20 persen suara di parlemen dan 25 persen suara di tingkat nasional. Dengan tingginya Presiden Threshold itu membuat tak mungkin satu parpol bisa mengusulkan calon Presiden-Wakil Presiden sendirian. Pastinya ia membutuhkan dukungan tambahan, syukur-syukur lebih, untuk bisa mengajukan calon. Dari sinilah koalisi bisa terbentuk dari dua parpol hingga 6 parpol.

Dukungan tambahan dari parpol lain selain untuk menambah prosentase Parlement Threshold juga untuk menjadikan mesin kemenangan saat kampanye dan Pemilu dilaksanakan. Dari saat kampanye dilaksanakan hingga penghitungan suara dinyatakan sah dan selesai, koalisi saling dukung dan bekerja untuk memenangkan dan mengawal raihan suara.

Kerja keras yang dilakukan, bila menang Pemilu, akan diganti dengan jatah dan pos-pos kekuasaan eksekutif, mulai dari menteri, eselon I, kepala BUMN, komisaris BUMN, duta besar, hingga jabatan yang langsung di bawah kendali Presiden. Dari jabatan yang ada, posisi menteri-lah yang paling disasar.

Keikutsertaan parpol mengusung calon Presiden-Wakil Presiden, ada yang dilandasi idealisme, ada pula yang dilandasi sikap pragmatis. Apapun landasannya, toh bila kemenangan tercapai, mereka meminta jatah kekuasaan. Idealis atau pragmatis semuanya tetap ingin mendapat kekuasaan.

Nah, bila jabatan menteri sudah didapat, lalu apa yang mereka inginkan? Sebagai pembantu Presiden, menteri tentu harus mempunyai kualifikasi dengan jabatan yang dipangkunya agar memahami masalah yang dikerjakan. Tujuannya agar roda kekuasaan yang dilaju oleh Presiden bisa memenuhi apa yang dijanjikan dan sesuai dengan amanat konstitusi.

Dalam realita yang ada, kabinet yang disusun ada yang dilakukan berdasarkan proffesionalisme, ada pula karena power sharing, pembagian kekuasaan. Power sharing dilakukan karena sesuai paparan di atas, yakni ongkos memenangkan Pilpres serta untuk menciptakan stabilitas politik agar Presiden tidak terganggu kinerja.

Menteri dari kalangan proffesional, biasanya kinerja yang dilakukan sukses dan sesuai dengan apa yang dimaui rakyat. Hadirnya Menteri PUPR, Basuki Hadimulyono, dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mampu membuat revolusi transportasi darat. Pembangunan jalan tol yang menyambungkan Jawa dan titik-titik di ruas Lampung hingga Sumatera bagian selatan mampu mengatasi masalah yang mengendap bertahun-tahun, yakni macet  di saat mudik dan balik Lebaran.

Namun ketika pos menteri itu diberikan kepada parpol dan atau organisasi massa (ormas), nah di situlah masalah itu muncul. Seorang menteri dari kalangan parpol dan atau ormas, ia bekerja untuk pemerintah namun di sisi yang lain, mereka juga bekerja untuk parpol dan ormas-nya. Seorang menteri yang duduk karena dukungan parpol atau rekomendasi ormas, membuat dirinya selaian sebagai pembantu Presiden, kelak juga membuat ia akan menjadi 'pembantu' parpol dan atau ormas pengusung. Dua hal inilah yang menyebabkan sosok sang menteri pusing tujuh keliling. Ia dibebani tidak hanya oleh tugas-tugas yang diberikan Presiden namun juga parpol dan ormas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun