Mohon tunggu...
Ardi Prasetyo
Ardi Prasetyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Musik, Literasi, Bisnis

Begitu banyak instrumen kehidupan, seperti halnya musik. Lalu, kupelajari satu per satu, pun agar harmonis hidup yang kumainkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumi, Sebuah Kisah tentang Makhluk Terjajah

22 Februari 2019   03:52 Diperbarui: 22 Februari 2019   16:01 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumi tengah asik bermain bersama teman-temannya di sebuah taman. Beradu tinggi dengan kawan di sebelah kanan dan kirinya. Yang tertinggi berhak menampilkan tarian angin. Sebuah tarian sederhana mengikuti arah angin.

Rumi kalah tinggi. Ia hanya bisa bergerak malu-malu sembari menyaksikan teman-temannya yang lebih tinggi menari-nari mengikuti arah angin. Sebagian yang lain malah sekadar terpaku rendah mencengkeram tanah. Tak tergerak sedikitpun. Meski begitu, mereka pun sebenarnya menikmati. Sesederhana itu Rumi dan teman-temannnya menghabiskan waktu setiap hari.

Suatu hari, Rumi terkejut dengan kehadiran makhluk lain. Ia mengisyaratkan bahaya pada seluruh teman di sekitarnya. Namun, tak ada yang bisa menghentikan langkah para makhluk pembawa bencana yang kini kian mendekat. Rumi dan teman-temannya memucat, menyadari mereka terlalu kecil, lemah, dan tanpa daya untuk melawan penjajah.

Rumi berpasrah diri. Begitu pula seluruh teman-temannya. Rasa geram tak mungkin mewujud jadi perlawanan, yang ada hanya bisa mengendap jadi dendam. Berharap suatu saat generasi berikutnya mampu tumbuh lebih kuat dan berani melakukan pembalasan.

Tanpa salam, apalagi belas kasihan, Rumi dan seluruh teman-temannya diinjak, dibabat, disiram racun, dan dibakar oleh makhluk penjajah yang mengaku sangat paham arti kebijaksanaan. Rumi pun perlahan mati.

Sebelum itu, Rumi sempat menyaksikan pembantaian paling kejam. Temannya yang biasa menari, ditebas tepat di pergelangan kaki. Sedangkan teman-temannya yang biasanya berdiam dalam kerendahan, diinjak-injak seperti tak punya harga diri. Rumi sendiri perlahan sesak nafas, peredaran sari pati di tubuhnya berangsur-angsur terhenti, hingga akhirnya memucat, layu, dan mati setelah cairan racun deras menghujani.

Lapisan tanah hitam yang tak lepas dari cengkeraman Rumi, kini mulai ditumpangi bebatuan dan aneka bahan bangunan. Sebagian tanah digali, sebagian ditutupi bebatuan simetri yang disusun rapi, sebagian dilapisi campuran pasir, air, dan material seperti debu berwarna abu-abu. Kendati demikian, suatu hari nanti, pasti ada celah untuk tumbuh kembang makhluk seperti Rumi.

Benar saja, doa-doa Rumi dijabahi. Generasi berikutnya, satu demi satu, mulai menampakkan diri di sela-sela bebatuan simetri yang ditata rapi menyelimuti tanah di mana Rumi dan teman-temannya mati. Mereka memang tak melakukan perlawanan mematikan. Bahkan mungkin hanya ingin hidup di tempat mereka sendiri. Namun, di mata makhluk penjajah, itu merupakan sebuah gangguan yang harus segera dienyahkan.

Makhluk penjajah benar-benar tak tinggal diam. Satu persatu tubuh mungil generasi penerus Rumi dicabuti. Sungguh, makhluk penjajah begitu rakus dan tak tahu diri. Mengaku bijaksana, tapi sama sekali tak ingat berbagi pada sesama ciptaan-Nya. Padahal, makhluk seperti Rumi lah yang jauh lebih dulu menduduki tanah di muka bumi.

Yogyakarta, 22 Februari 2019
~A.P.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun