Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Selebrasi Dan Kebohongan Ujian Nasional

15 Mei 2014   13:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Siang itu jalanan gaduh. Setelah lirik kanan kiri dari jendela angkot, ketahuan juga, sumber suara berasal dari konvoi pelajar berseragam putih biru.

Anak SMP berpawai di jalanan dengan begitu riuh.

Tak hanya bersorak-sorai, mulai dari baju, celana hingga wajah dan rambut mereka sudah balepotan dipenuhi warna. Hasil cat semprot, sepertinya.

Beberapa penumpang angkot spontan menggerutu. Ada yang cuma diam tak acuh. Tapi Ibu-ibu yang mendominasi kursi angkot tak lupa menyisipkan naluri keibuannya dalam setiap komentar keluh mereka. Kebanyakan teringat dengan kasus AQJ, anak artis yang hampir tewas dan menewaskan beberapa orang dalam sebuah kecelakaan fatal. Usia belia memang belumlah layak untuk mengendalika kendaraan “bermesin serius”.

Tapi bukan itu,.. yang menarik perhatian saya malah dua hal yang berbeda dari masalah penggunaan kendaraan di usia kencur.

Ada sesuatu yang aneh dar konvoi pelajar SMP tadi.

Jika pemburu punya jejak untuk melacak hewan incaran, atau pelaut punya rasi bintang untuk memapah ke arah tujuan, saya punya kronologis waktu dan cat semprot untuk mengendus kebohongan terbesar pendidikan di Indonesia.

Hari itu 8 Mei. Tanggal yang jadi ending Ujian Nasional untuk tingkat sekolah menengah pertama.

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pun jadi penutup perjuangan anak-anak muda calon pengarah nasib bangsa kelak.

Tak ada yang aneh memang. Ujian Nasional sudah jadi rutinitas tahunan yang wajib diikuti seluruh siswa di negara ini.

Tapi, jika mau kembali merunut ke beberapa minggu sebelumnya, anak-anak ini punya kondisi wajah yang sungguh jauh berbeda. Ada yang menagis sesunggukan. Meraung seperti kerasukan. Sekonyong-konyong jadi pendoa yang giat. Sampai tiba-tiba ingat kesalahan pada kedua orang tua di rumah.

Namun baru saja beberapa menit kegiatan nasional yang menguji mereka berakhir tuntas, sudah ada selebrasi kepuasan yang besar yang mereka lakukan. Seperti lepas dari hukuman berat. Layaknya orang sakit yang bebas dari derita hebat.

Salah? Tentu tidak jika mengingat ujian yang satu ini disebut sebagai penentu. Setiap hal yang menentukan, wajar punya daya untuk mengintimidasi, memicu rasa takut bagi yang terlibat di dalamnya. Jadi tak aneh jika dibutuhkan perayaan yang besar untuk membalas tekanan setelah mampu lolos dari jerat penentu tersebut.

Tapi konvoi anak-anak SMP di atas malah menebar aroma mencurigakan. Semacam ketakwajaran psikologis dari penjabaran makna tekanan dan perayaan di atas.

Mari membandingkan.

UN dan pemilu digelar berdekatan. Jedanya pun cuma sekitar satu bulan.

Pada pemilu legislatif kemarin, kita mengenal istilah quick count dan exit pool. Memang dua istilah itu mengartikan dua proses dan metode yang beda, namun punya tujuan yang persis sama; mengetahui sesegera mungkin pemenang secara instan.

Jadi tak perlu menunggu jeda 1 bulan untuk mengetahui partai dan caleg mana yang jadi juara, cukup bersabar beberapa jam saja, jumlah suara nasional sudah bisa dipetakan dengan lumayan akurat.

Nah, mari berpaling ke Ujian Nasional. Pasti sudah paham pembandingnya kan?

Jika belum, lihat saja  analogi pemilu dan quick count tadi.

Sekadar informasi, pengumuman a.k.a real count hasil Ujian Nasional juga punya sistematika yang mirip dengan pemilu kemarin, perlu jeda berminggu-minggu untuk tahu hasil akhir.

Sejarahnya, belum pernah ada lembaga survey yang mengadakan hitung cepat hasil UN. Jika ada, pasti lucu.

Namun, kalau PDIP, Golkar dan Gerindra bisa ceria sebab dinyatakan jadi tiga besar pemilu musim 2014 berdasarkan hasil quick count, lalu dari mana pula anak-anak SMP itu mendapatkan patokan hasil yang terpercaya?

Mereka berkonvoi dengan sukacita. Suka cita berhubungan erat dengan kebahagian. UN dan kebahagian = hasil memuaskan.

Nalar sederhana saja tentu mudah menyimpulkan; anak-anak ini sudah tahu hasil ujian mereka bahkan sebelum pihak terkait menilai kertas jawabanya!

Curiga itu perlu, bahkan Descartes memulai filsafatnya dengan kecurigaan hingga ia bisa menyimpulkan jargon “cogito ergo sum”. Aku berpikir maka aku ada.

Menteri Pendidikan Muhammad Nuh sebelumnya menyebutkan, “soal UN mustahil bocor.”

Jika bos pendidikan saja sudah mengklaim, tentu ada kredibilitas dalam ucapannya, soal UN tak mungkin bocor.

Masalahnya, kata “mustahil” di Indonesia mudah berubah. Tak korupsi, nyatanya korupsi. Penegak hukum, malahan yang dihukum.

Saya mewawancarai seorang siswa. Supaya mirip reportase yang keren, identitas narasumber terpaksa saya samarkan.

Narasumber yang baru saja mengikuti Ujian Nasional ini menyebutkan, jika hasil ujiannya 4 hari berturut-turut tak seluruhnya murni. Bahkan bisa disebut jawaban soal ujian yang ia buat “murni tak murni”.

Pagi-pagi benar, mereka sudah diperintah datang ke sekolah. Setelah baris-berbaris, sang kepala sekolah memberi semacam pengarahan.

“Hati-hati,” katanya. “Jangan sampai orang lain tahu, jaga rahasia jika ingin semuanya berjalan dan berakhir baik-baik saja,” sebut kepala sekolah itu dengan serius. Lebih mirip ancaman.

Ujian dimulai. Perjuangan tiga tahun siswa-siswi disarikan dalam bentuk soal yang tercetak pada kertas putih berlabel “dokumen negara-rahasia.”

Narasumber menyebut, “ada yang terselip di soal ujian kami. Semacam deretan angka berurut dan huruf tak sama. Hasil fotokopian. Kami tak ragu lagi, itu kunci jawaban.”

Narasumber yang juga terdaftar di salah satu SMP di kota Provinsi Sumatera ini menyebutkan, pengawas ujian, yang ditugaskan melakukan penjagaan, mengawal kejujuran para peserta, pun ikut bergotong royong membantu murid-murid di ruangan untuk memindahkan huruf di kertas yang terselip di soal ujian tadi, ke lembar jawaban yang pemeriksaannya lewat komputerisasi itu.

Waktu ujian habis, murid membereskan alat-alat tulis, dan pulang dengan wajah tenang, penuh kemenangan.

Beban yang melekat di pikiran mereka begitu saja lepas. Hilang tak berbekas. Ujian nasional ternyata tak sesulit yang mereka kira.

Empat hari berikutnya berakhir dengan begitu mulus.., “semuanya berjalan dan berakhir baik-baik saja”. Seperti permintaan kepala sekolah.

Triliunan sudah dana yang dikeluarkan untuk pagelaran pesta pendidikan terbesar di negara ini. Kegiatan tersebut pun ditujukan untuk menyiapkan pesertanya naik ke jenjang akademis yang lebih tinggi lagi. Lebih dewasa dari segi intelektual dan moral—dua krisis yang dialami bangsa ini sudah sejak lama.

Tapi nyatanya, krisis moral dan intelektual terancam berlangsung lebih lama. Tak mampu segera tertanggulangi.

Semacam paradoks, ketika pendidik ingin meningkatkan kualitas siswa-siswinya lewat pelakasanaan ujian nasional, di saat yang sama mereka juga seperti tak tega melihat ketakutan mendalam yang dialami hampir seluruh peserta ketika UN hampir menjelang. Dan jadilah lembar soal yang (katanya) dokumen rahasia negara itu setiap tahun tersebar bebas jawabannya di sms, kertas yang terselip di dasi, saku atau paha pelajar.

Kesimpuannya, apakah mungkin ada pihak yang dilestarikan “peran dan fungsinya” dari internal dinas pendidikan untuk mendistribusikan kunci jawaban sebelum pelaksaan UN, demi rasa tak tega bernilai triliunan rupiah?

Jalanan pun gaduh. Sumber suara berasal dari konvoi pelajar berseragam putih biru. Anak SMP berpawai dengan begitu riuh.

Tapi, rasa bahagia itu berbau menyengat.

Busuk, karena mayat pendidikan di Indonesia belum juga ditemukan.

Dibiarkan begitu saja. Beberapa orang ternyata masih ada yang menyukai bau yang busuk.

“Soal UN mustahil bocor,” kata yang terhormat Muhammad Nuh. Setiap tahunnya pun dia mengucapkan kata yang sama, dengan keyakinan yang juga serupa.

Soal UN mustahil (tak) bocor.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun