Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Seakan Ahok Gubernur Tunggal di Indonesia

19 April 2016   00:24 Diperbarui: 17 Oktober 2016   08:27 2233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena sudah menjadi topik yang cukup stabil kepopulerannya, adalah hal yang gampang menemukan debat yang berkembang luas di tengah publik jika tema yang digoreng menyasar pada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama. Banyak materi perdebatan yang nikmat dikopek dari pemimpin eksekutif tertinggi ibu kota negara itu. Satu belum tamat, muncul lagi yang lain. Publik seperti disajikan menu penganan lezat yang melimpah jika ada Ahok dalam adonannya.

Tapi kemudian timbul semacam efek ironis ketika melihat perdebatan yang menjamur saat muncul informasi mengenai Ahok di media sosial atau artikel-artikel berjudul provokatif yang belakang ini bersemai di banyak tempat.

Dari pengamatan sekilas, sebaran kelompok pendukung dan pihak yang antipati terhadap Ahok nampaknya cukup seimbang. Di mana ada artikel, thread atau sekadar status Facebook yang mendiskreditkan Ahok, di situ pula akan ada pendukung Ahok yang ikut unjuk komentar memberi pembelaan, dan sebaliknya, dukungan terhadap Ahok akan tetap disempili oleh suara sumbang yang tak suka dengan gaya kepemimpinan mantan Bupati Belitung Timur itu. 

Ironinya begini, cobalah sesekali merepotkan diri mengklik profil “para peserta” yang menjadikan Ahok sebagai tema perdebatan di dunia maya. Akun yang nampaknya asli (didasarkan pada beberapa indikator seperti misalnya umur akun, foto profil, dsb) dan yang mempublikasikan data lengkap dirinya, termasuk kota domisili, ternyata banyak yang berasal dari daerah luar Jakarta. Alih-alih penduduk asli DKI, justru warga dari kota tetangga seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, atau kota dari luar Pulau Jawa semisal Batam, Padang, dan Makassar-lah yang lebih sering saya dapati ikut aktif memperdebatkan banyak hal mengenai Ahok; mulai dari hal remeh semacam apa saja makanan dan minuman yang ditelan Ahok, hingga kapabilitas sang Gubernur memimpin DKI Jakarta.

Bahkan, belasan ribu member salah satu grup netizen lokal kota Medan yang saya ikuti lebih intens mengerubungi posting-an yang mengangkat Ahok sebagai tema pembahasan dibandingkan mengomentari performa pemimpin-pemimpin lokal yang jumlahnya saja mencapai puluhan, namun sunyi diskusi.

Ahok “Memonopoli” Kritik

Di satu sisi, ini jadi kabar baik bagi kondisi demokrasi yang mekar di negeri ini. Situs media sosial yang cakupannya luas dan mudah dijangkau menjadikan publik awam Indonesia bisa lebih mengenal dan terlibat politik, walaupun masih terbatas pada diskusi sekadarnya.

Akan tetapi di saat yang sama diskusi berapi-api—yang kadang berujung perdebatan konyol tak substansial—mengenai sesosok individu bernama Ahok juga menghasilkan dampak yang terbilang buruk: timbulnya monopoli kritik.

Bukan hanya aspek pendidikan, sandang, pangan, dan kebutuhan dasar lainnya, namun sepertinya kritik pun mesti ikut didistribusikan secara merata ke seluruh wilayah Indonesia. “Kritik” bisa dikatakan sebagai salah satu bahan bakar ampuh yang merangsang pembangunan. Berkat kritik, diciptalah infrastruktur yang lebih baik, pelayanan kesehatan yang manusiawi, peraturan yang mau mengakomodasi rakyat kecil, dan banyak hal penting lainnya di mana saja di seluruh dunia. Kritik, walau seringnya nyelekit, adalah salah satu cara agar pihak berwenang tidak melulu mengandalkan absolutisme sudut pandang pribadi dalam bekerja, namun juga mau melibatkan masyarakat yang merupakan sasaran utama dilahirkannya sebuah kebijakan.

Tapi, kehadiran Ahok dan popularitas yang ia raih lewat prestasi dan kontroversi malah mengancam eksistensi “kritik” sebagai penggerak pembangunan menyeluruh tersebut.

Ahok seperti menjadi sosok tunggal pimpinan eksekutif yang layak disorot kinerjanya di Indonesia. Ahok seakan berubah jabatan, bukan lagi Gubernur DKI Jakarta, tapi ia seperti sudah menjadi “Gubernur Indonesia”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun