Teroris menang besar. Cukup satu minggu, Indonesia dibuatnya berduka berulang kali.
Sesudah 5 polisi gugur di markasnya sendiri, belasan tubuh kemudian remuk berceceran di halaman  tiga gereja pada minggu pagi yang terlalu cerah untuk ternoda darah.
Setelahnya, serangan berlanjut di pintu masuk Polrestabes Surabaya dan kembali mencabut 4 nyawa. Publik cemas menanti, entah kapan dan di mana teror akan kembali tampil lagi.
Netizen berusaha memberi dukungan dengan jari jemari untuk taggar #KamiTidakTakut. Mencoba tampil berani di hadapan sekelompok manusia cacat jiwa yang siap sedia mati demi ideologi nista.
Namun, benarkah #KamiTidakTakut?
Dengan sel dan simpatisan yang tersebar di banyak tempat, dengan muslihat yang berulang kali mampu mengelabuhi kekuatan intelijen negara, dengan militansi yang luar biasa, benarkah #KamiTidakTakut?
Saya takut.
Takut, jika hidup yang saya rawat dan peruntukkan demi cita-cita baik ini mesti berakhir sia-sia di tangan mereka.
Takut, jika sanak-saudara yang saya kasihi detik ini mesti pergi dengan cara biadab seketika oleh ulah orang-orang yang kegoblokannya sama sekali tidak punya sangkut paut apa-apa dengan korban.
Dengan modal jari di balik layar zona rasa nyaman, memang mudah tampilkan diri #KamiTidakTakut.
Tapi coba lihat duka para korban, yang selamat atau pun yang ditinggalkan. Seumur hidup mereka mungkin tidak akan mampu menghapus luka permanen yang tergores di kulit dan menggurat terlalu dalam di hati.