"Diam! Kamu bikin malu saja!"
"Bodoh, begitu saja tidak bisa!"
"Kalau tidak nurut, Mama pukul kamu!"
Kalimat-kalimat seperti ini mungkin terdengar biasa di banyak rumah tangga. Tak sedikit orang tua yang merasa bersikap kasar adalah bagian dari "cara mendidik" anak. Ironisnya, banyak pula yang bangga pernah dimarahi, dicubit, atau dijewer saat kecil, lalu berkata: "Lihat buktinya, aku jadi orang sukses sekarang."
Tapi, apakah benar bersikap kasar pada anak membuat mereka menjadi pribadi yang kuat, disiplin, dan tangguh? Atau justru sebaliknya: anak tumbuh dalam luka yang tak terlihat?
Apa yang Dimaksud dengan Sikap Kasar kepada Anak?
Sikap kasar bukan hanya kekerasan fisik seperti memukul, menjewer, atau mencubit. Ia juga mencakup kekerasan verbal dan emosional seperti:
Memaki dan mengata-ngatai anak
Merendahkan atau mempermalukan anak
Membandingkan anak secara negatif
Mengancam dengan kekerasan
Menunjukkan ekspresi marah berlebihan atau membentak
Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan terhadap anak termasuk dalam segala bentuk penganiayaan atau perlakuan buruk yang mengakibatkan bahaya nyata atau potensial pada kesehatan, perkembangan, atau martabat anak.
Data: Kekerasan Terhadap Anak Masih Tinggi
Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 mencatat, lebih dari 4.500 kasus kekerasan terhadap anak dilaporkan, dan 57%-nya terjadi di lingkungan keluarga. Ini menunjukkan bahwa rumah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, justru sering menjadi tempat anak mengalami perlakuan kasar.
Lebih miris lagi, sebagian besar pelaku kekerasan adalah orang tua sendiri, dan sebagian besar tidak sadar bahwa sikap mereka tergolong kekerasan.
Mengapa Orang Tua Bisa Bersikap Kasar?