Generasi muda selalu menjadi tulang punggung perubahan. Mereka dianggap sebagai pemilik masa depan sekaligus agen pembaharu. Namun, belakangan ini perdebatan mencuat: apakah generasi muda masa kini, khususnya Gen Z, benar-benar berbeda dibanding generasi muda tahun 1990-an (sering diasosiasikan sebagai Generasi Y atau awal milenial)? Jika ya, perbedaan apa yang paling mencolok? Dan apakah itu berarti generasi sekarang lebih baik atau justru sebaliknya?
1. Perubahan Konteks Zaman yang Drastis
Sebelum menilai perbedaan karakter generasi, penting dipahami bahwa mereka hidup dalam konteks sosial, ekonomi, dan teknologi yang sangat berbeda.
Tahun 1990-an adalah era transisi menuju modernisasi di Indonesia. Internet masih barang mewah, telepon genggam hanya dimiliki kalangan terbatas, dan informasi didapat dari buku, koran, atau siaran TV terbatas. Generasi muda saat itu tumbuh dengan permainan tradisional, menulis surat sebagai bentuk komunikasi jarak jauh, dan memaknai waktu luang dengan interaksi langsung bersama teman sebaya.
Sementara itu, generasi muda saat ini tumbuh dalam era digital dan globalisasi. Mereka lahir di tengah kemajuan teknologi yang pesat: internet cepat, media sosial, kecerdasan buatan, hingga akses instan ke informasi dunia. Menurut data dari We Are Social dan Hootsuite (2024), 99% remaja Indonesia usia 13--18 tahun memiliki akses aktif ke internet dan media sosial, rata-rata selama 7--9 jam per hari.
2. Karakteristik Generasi: Individual vs Kolektif?
Generasi muda era 90-an dikenal memiliki ikatan sosial yang kuat secara fisik. Mereka terbiasa bermain dan berdiskusi secara langsung, sehingga empati dan komunikasi verbal lebih terasa alami. Pendidikan pun lebih berorientasi pada kedisiplinan dan hierarki. Dalam teori generasi menurut William Strauss dan Neil Howe, generasi 90-an (Generasi Y awal) cenderung kooperatif dan menghargai struktur.
Di sisi lain, generasi muda saat ini---sering disebut Gen Z---menunjukkan karakter yang lebih independen, ekspresif, dan fleksibel. Mereka terbiasa menyuarakan pendapat di media sosial, membangun identitas digital, serta berani menolak norma yang dianggap ketinggalan zaman. Generasi ini juga lebih terbuka terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, kesehatan mental, dan kesetaraan gender. Menurut laporan Deloitte Global 2023, 73% Gen Z di Asia menyatakan mereka "memilih pekerjaan yang selaras dengan nilai pribadi, bukan hanya gaji tinggi."
Namun, ada kritik bahwa mereka cenderung individualistik dan rentan secara emosional, terutama karena banyak interaksi dilakukan secara daring. Profesor Jean Twenge dalam bukunya iGen (2017) menyebut bahwa generasi digital mengalami lonjakan kecemasan dan depresi karena tekanan sosial media dan isolasi digital.
3. Cara Belajar dan Mengakses Informasi
Jika generasi 90-an terbiasa belajar lewat buku, mencatat manual, dan mendengarkan guru secara pasif, generasi sekarang tumbuh dalam era edukasi berbasis digital. Mereka lebih akrab dengan video pembelajaran, aplikasi edukasi, hingga penggunaan AI seperti ChatGPT untuk membantu belajar.
Menurut laporan UNESCO (2022), pendekatan pembelajaran berbasis teknologi dan personalisasi cenderung lebih efektif untuk Gen Z, karena mereka memiliki rentang perhatian lebih pendek tetapi cepat dalam mengakses dan mengolah informasi.
Namun, tantangannya adalah maraknya informasi palsu (hoaks) dan menurunnya kemampuan berpikir kritis karena kebergantungan pada sumber instan. Studi dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menunjukkan bahwa kelompok usia 15--24 tahun adalah salah satu yang paling rentan menyebarkan informasi tanpa verifikasi.