Sejak diberlakukannya Kurikulum Merdeka, struktur pembelajaran di tingkat SMA mengalami pergeseran besar. Salah satu perubahan paling mencolok adalah penghapusan sistem "penjurusan" (IPA, IPS, Bahasa) di kelas X, XI, dan XII. Pemerintah mendorong siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat secara fleksibel. Meski terlihat progresif, perubahan ini memunculkan polemik. Banyak guru, siswa, dan orang tua merasa sistem ini justru membingungkan dan tidak efisien dalam praktiknya.
Lalu, apakah sistem penjurusan benar-benar usang? Atau justru perlu dikembalikan? Berikut ini lima alasan mendasar mengapa kelas-kelas "penjurusan" seharusnya dihidupkan kembali di sekolah-sekolah SMA.
1. Menjamin Kedalaman Materi Sesuai Keilmuan
Penjurusan memungkinkan siswa mendalami bidang ilmu tertentu secara lebih intensif. Dalam sistem lama, siswa IPA difokuskan pada Fisika, Kimia, dan Biologi; siswa IPS pada Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi; sementara siswa Bahasa mendalami Sastra, Bahasa Asing, dan Kebudayaan.
Dengan struktur seperti ini, pendalaman materi menjadi terarah. Bandingkan dengan sistem sekarang, di mana siswa bisa memilih campuran mata pelajaran lintas minat, seperti Fisika dan Sosiologi. Ini memang terdengar fleksibel, namun dalam praktiknya sulit dikelola, baik secara jadwal maupun kedalaman materi.
Menurut survei yang dilakukan oleh PGRI pada tahun 2023, 68% guru merasa bahwa pembelajaran lintas minat membuat penyampaian materi menjadi dangkal dan tidak berkesinambungan. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas penguasaan kompetensi siswa dalam jangka panjang.
2. Membantu Persiapan Masuk Perguruan Tinggi
Penjurusan secara alami mempersiapkan siswa untuk seleksi masuk perguruan tinggi. Misalnya, siswa jurusan IPA memiliki bekal kuat untuk mengikuti ujian masuk fakultas kedokteran atau teknik, sementara siswa IPS dipersiapkan untuk jurusan ekonomi, hukum, dan sosial-politik.
Dalam sistem tanpa penjurusan, siswa harus menyesuaikan pilihan mata pelajaran mereka dengan minat kuliah, yang kadang tidak tersedia karena keterbatasan guru atau jadwal. Akibatnya, banyak siswa kelas XII merasa tidak memiliki persiapan yang memadai untuk mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT).
Data dari Kemendikbudristek tahun 2024 menunjukkan bahwa 52% siswa mengaku kesulitan memilih mata pelajaran yang relevan dengan minat kuliah mereka. Angka ini menunjukkan bahwa tanpa struktur yang jelas, siswa justru kesulitan membangun strategi akademik untuk masa depan.