Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga tentang membangun karakter dan kesehatan mental peserta didik. Sayangnya, tanpa disadari, beberapa praktik pengajaran atau perlakuan guru justru dapat merusak mental siswa, bahkan membunuh kepercayaan diri mereka secara perlahan.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI (2023), sekitar 15-20% remaja di Indonesia mengalami gangguan mental, dengan penyebab utama berasal dari tekanan akademik dan perlakuan tidak mendukung di lingkungan sekolah. Jika tidak diatasi, hal ini dapat menyebabkan penurunan motivasi belajar, kecemasan berlebihan, bahkan depresi.
Lalu, perlakuan apa saja yang harus dihindari agar peserta didik tidak kehilangan semangat belajar dan harga diri mereka? Berikut penjelasan rinci beserta solusinya.
1. Memarahi Siswa di Depan Umum
Mempermalukan siswa di depan kelas adalah salah satu cara tercepat untuk meruntuhkan mental mereka. Ketika seorang anak diteriaki, diejek, atau dijadikan bahan olokan karena kesalahannya, yang tertanam dalam pikiran mereka bukanlah pelajaran, melainkan rasa malu dan ketakutan.
Fakta: Survei dari Indonesian Psychological Journal (2022) menunjukkan bahwa 65% siswa merasa trauma setelah dimarahi di depan teman-temannya. Beberapa bahkan mengaku menjadi lebih tertutup dan enggan berpartisipasi di kelas karena takut dipermalukan lagi.
Solusi:
Panggil siswa secara privat untuk memberikan teguran. Hal ini membuat mereka lebih terbuka menerima masukan tanpa rasa malu.
Gunakan pendekatan coaching alih-alih menghukum. Tanyakan apa yang terjadi dan bantu mereka menemukan solusi.
Fokus pada solusi, bukan pada kesalahan. Misalnya, alih-alih mengatakan "Kamu selalu lupa PR!", lebih baik katakan "Bagaimana caranya agar kamu bisa lebih disiplin mengerjakan PR?"
2. Memberi Label Negatif ("Kamu Malas," "Kamu Bodoh")
Kata-kata negatif dari guru dapat tertanam dalam benak siswa dan memengaruhi cara mereka memandang diri sendiri. Ketika seorang guru mengatakan, "Kamu memang pemalas!" atau "Kamu tidak akan pernah bisa!", hal itu tidak hanya menyakiti perasaan, tetapi juga menjadi self-fulfilling prophecy.