Selama lebih dari dua dekade sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998, korban pelanggaran HAM berat pada masa itu masih menanti keadilan yang tak kunjung tiba. Mulai dari kasus pembunuhan massal 1965-1966, penculikan aktivis 1997-1998, hingga kerusuhan Mei 1998, penyelesaian hukumnya masih terasa setengah hati. Pemerintah telah membentuk berbagai komisi dan pengadilan ad hoc, tetapi hasilnya cenderung simbolis tanpa eksekusi nyata. Lantas, mengapa proses hukum bagi korban Orde Baru hingga awal Reformasi begitu buram?
Daftar Pelanggaran HAM Berat yang Belum Terselesaikan
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), setidaknya ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas:
Peristiwa 1965-1966: Pembunuhan dan penahanan massal terhadap anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi underbow-nya. Data dari Amnesty International menyebutkan sekitar 500.000 hingga 1 juta orang tewas, sementara ratusan ribu lainnya mengalami penyiksaan dan kerja paksa.
Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985: Operasi rahasia yang menewaskan ribuan orang yang dituduh sebagai preman.
Peristiwa Tanjung Priok 1984: Penembakan terhadap demonstran yang menuntut keadilan, menewaskan puluhan orang.
Peristiwa Talangsari 1989: Pembantaian warga Lampung yang dianggap terlibat kelompok radikal.
Penculikan Aktivis 1997-1998: Sejumlah mahasiswa dan aktivis pro-demokratisasi diculik oleh tim militer, beberapa hingga kini hilang.
Kerusuhan Mei 1998: Kerusuhan yang memicu jatuhnya Soeharto, disertai pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa.
Trisakti-Semanggi I & II 1998-1999: Penembakan terhadap mahasiswa yang menuntut reformasi.
Meskipun Komnas HAM telah merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc untuk beberapa kasus, hanya sedikit yang benar-benar diproses. Bahkan, ketika pengadilan digelar---seperti kasus Tanjung Priok dan Timor Timur---vonisnya kerap dianggap terlalu ringan atau pelaku dibebaskan.
Hambatan dalam Penyelesaian Hukum
1. Lemahnya Political Will Pemerintah
Pasca-Reformasi, pemerintahan Indonesia memang lebih terbuka, tetapi upaya serius mengadili pelaku pelanggaran HAM masih minim. Presiden Joko Widodo, misalnya, pernah menjanjikan penyelesaian kasus HAM dalam kampanyenya, tetapi hingga 2024, belum ada langkah konkret.
Menurut ICTJ (International Center for Transitional Justice), salah satu penyebabnya adalah masih kuatnya mantan petinggi Orde Baru dalam struktur politik dan militer. Banyak tokoh yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki pengaruh besar, sehingga upaya hukum seringkali dibatasi.
2. Sistem Hukum yang Tidak Independen