Pendidikan adalah pilar penting dalam membentuk masa depan generasi muda. Namun, di balik proses pembelajaran yang seharusnya membawa pencerahan, seringkali terselip nestapa dan derita yang dialami oleh siswa. Salah satu faktor utama yang memengaruhi pengalaman belajar siswa adalah cara mengajar guru di kelas. Meskipun banyak guru yang berdedikasi dan inspiratif, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa metode pengajaran justru menciptakan tekanan, kebosanan, bahkan trauma bagi siswa. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang tantangan yang dihadapi siswa serta data yang mendukung fenomena ini.
1. Metode Pengajaran yang Monoton dan Tidak Kreatif
Salah satu keluhan paling umum dari siswa adalah metode pengajaran yang monoton. Guru yang hanya mengandalkan ceramah satu arah tanpa melibatkan interaksi atau aktivitas kreatif seringkali membuat siswa merasa bosan dan tidak termotivasi. Menurut survei yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2018, sekitar 65% siswa di Indonesia mengaku merasa kurang tertarik dengan pelajaran karena metode pengajaran yang tidak menarik.
Padahal, pembelajaran yang efektif seharusnya melibatkan partisipasi aktif siswa, seperti diskusi kelompok, proyek kolaboratif, atau penggunaan teknologi. Ketika guru hanya fokus pada buku teks dan menghafal materi, siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mereka.
2. Tekanan dan Stigma Akademik
Guru seringkali menetapkan standar tinggi yang harus dicapai oleh siswa, baik dalam bentuk nilai ujian maupun tugas-tugas berat. Hal ini menciptakan tekanan psikologis yang besar, terutama bagi siswa yang kurang mampu mengikuti ritme pembelajaran. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menunjukkan bahwa 40% siswa mengalami stres akibat tuntutan akademik yang berlebihan.
Selain itu, stigma negatif seperti "siswa bodoh" atau "tidak berprestasi" yang dilabelkan oleh guru kepada siswa tertentu dapat merusak kepercayaan diri mereka. Label ini tidak hanya memengaruhi performa akademik, tetapi juga kesehatan mental siswa. Sebuah studi dari Universitas Indonesia menemukan bahwa siswa yang sering mendapat stigma negatif dari guru cenderung mengalami kecemasan dan depresi.
3. Kurangnya Perhatian terhadap Gaya Belajar Individu
Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Ada yang lebih mudah memahami materi melalui visual, ada yang melalui audio, dan ada pula yang membutuhkan praktik langsung. Namun, banyak guru yang mengajar dengan pendekatan "satu untuk semua", tanpa mempertimbangkan kebutuhan individu siswa.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Howard Gardner, pencipta teori Multiple Intelligences, hanya 20% siswa yang merasa bahwa gaya mengajar guru sesuai dengan cara belajar mereka. Sisanya merasa kesulitan untuk menyerap informasi karena metode yang digunakan tidak cocok dengan preferensi mereka. Akibatnya, banyak siswa yang tertinggal dalam pelajaran dan merasa frustrasi.