Pariwisata telah lama menjadi salah satu sektor andalan bagi perekonomian Indonesia. Dari Bali hingga Raja Ampat, pemerintah tak henti-hentinya mempromosikan keindahan alam dan budaya Indonesia ke seluruh dunia. Namun, di balik gemerlap promosi pariwisata yang masif, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana pemerintah memperhatikan pemberdayaan masyarakat lokal yang menjadi tuan rumah di destinasi-destinasi tersebut? Apakah mereka benar-benar merasakan manfaat dari gelombang wisatawan yang datang, atau justru terpinggirkan oleh kepentingan bisnis besar?
Promosi Pariwisata vs. Realitas Masyarakat Lokal
Tidak dapat dipungkiri, promosi pariwisata Indonesia telah membuahkan hasil yang signifikan. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada tahun 2019 mencapai 16,1 juta orang, dengan kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional sebesar 5,7%. Namun, di balik angka-angka tersebut, ada cerita lain yang sering kali luput dari perhatian.
Masyarakat lokal, yang seharusnya menjadi subjek utama dalam pembangunan pariwisata, sering kali hanya menjadi penonton. Banyak dari mereka yang tidak memiliki akses untuk terlibat secara langsung dalam industri pariwisata, baik sebagai pemilik usaha, pemandu wisata, maupun pekerja di sektor hospitality. Alih-alih mendapatkan manfaat ekonomi, mereka justru menghadapi tantangan seperti kenaikan harga tanah, persaingan dengan investor besar, dan degradasi lingkungan akibat masifnya pembangunan infrastruktur pariwisata.
Contoh Kasus: Bali dan Labuan Bajo
Bali, sebagai destinasi pariwisata paling terkenal di Indonesia, menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat lokal bisa terpinggirkan. Meskipun Bali menyumbang sekitar 40% dari total penerimaan devisa pariwisata Indonesia, banyak warga lokal yang merasa tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang seimbang. Investor dari luar daerah dan luar negeri mendominasi kepemilikan hotel, restoran, dan usaha pariwisata lainnya. Akibatnya, masyarakat lokal sering kali hanya menjadi tenaga kerja dengan upah rendah, sementara keuntungan besar mengalir ke pihak luar.
Kasus serupa terjadi di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, yang sedang gencar dipromosikan sebagai "10 Bali Baru". Pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti bandara internasional dan hotel-hotel mewah, memang meningkatkan kunjungan wisatawan. Namun, masyarakat lokal justru menghadapi masalah seperti alih fungsi lahan dan kesulitan bersaing dengan usaha-usaha besar. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Nusa Cendana, hanya 30% masyarakat Labuan Bajo yang merasa mendapatkan manfaat langsung dari perkembangan pariwisata di daerah mereka.
Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Masih Setengah Hati?
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal dalam sektor pariwisata. Salah satunya adalah program Desa Wisata, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengelola potensi pariwisata di daerahnya secara mandiri. Namun, implementasi program ini sering kali tidak optimal.
Banyak desa wisata yang kekurangan dukungan finansial, pelatihan, dan pemasaran. Akibatnya, mereka kesulitan bersaing dengan destinasi pariwisata yang dikelola oleh pihak swasta. Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan bahwa dari 2.000 desa wisata yang ada di Indonesia, hanya sekitar 20% yang beroperasi secara optimal. Sisanya masih bergulat dengan masalah manajemen dan minimnya kunjungan wisatawan.