Mohon tunggu...
Ardiabara Ihsan
Ardiabara Ihsan Mohon Tunggu... profesional -

Melompati Zaman...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tentang Aktivis Mahasiswa

30 Agustus 2014   08:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampaikanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu

Ku akan menaklukkan malam, dengan jalan pikiranku

Sampaikanlah pada bapakku, aku mencari jalan

atas semua keresahan-keresahan ini, kegelisahan manusia

-Eros & Okta-



Memang tidak banyak orang yang mengerti, atau mau mengerti dengan jalan hidup para aktivis. Juga tak mau mereka ambil peduli, atau sekedar bertanya mengapa seseorang bela-belain menjalani aktivitas yang, bagi kaum awam, hanya menguras waktunya untuk sebuah cita-cita yang tak pasti. Bahkan sering sinisme pun ditujukan untuk mereka tentang apa yang mereka lakukan. Hingga habis suaralah kita mencoba meyakinkan kepada mereka, tetap saja kesulitan untuk membuat mereka merestui jalan hidup yang dipilih oleh para aktivis ini.

Apa yang dilakukan oleh seorang aktivis memang bukanlah sebuah wujud praktis yang siap jadi. Justru cenderung melawan wacana publik dan terkesan berbau pemberontakan. Namun memang terlalu sulit untuk merealitakannya kepada orang-orang yang sudah terlanjur memandangnya secara abstrak.

Menjadi aktivis mahasiswa, bagi beberapa orang tertentu, terkadang memang tak bisa untuk diceritakan. Pada dasarnya ia memang bukanlah sesuatu untuk dijelaskan. Ia hanyalah panggilan jiwa tentang kebenaran, yang harus dijalani, yang harus dilakukan. Kenalkan, inilah dia: Para Aktivis Mahasiswa.

Siapakah Aktivis Mahasiswa?

Biasanya orang-orang akan mengidentikkan para mahasiswa yang aktif berkecimpung dalam organisasi lantas langsung disebut aktivis mahasiswa. Sebenarnya tidak selalu seperti itu. Ada yang benar-benar aktivis, lebih banyak yang bukan.

Ada dua macam orang yang aktif di organisasi kemahasiswaan. Pertama, organisator. Kedua, aktivis. Apa bedanya? Sangat beda. Organisator adalah mereka yang hanya aktif di organisasi. Aktif dalam event-event yang diselenggarakan oleh organisasi. Tapi mereka suka berhitung, jika sesuatu hal tidak membawa manfaat untuk kepentingan mereka, biasanya mereka akan kurang keaktifannya disana. Mereka, sejatinya, bukan aktif. Melainkan ikut-ikutan aktif. Bisa dikatakan mereka berjuang untuk kepentingan dirinya semata. Tentu saja, yang seperti ini kurang bijak untuk dikategorikan sebagai aktivis.



Sedangkan seorang aktivis berbeda. Aktivis adalah mereka yang berjuang mengkampanyekan nilai-nilai keyakinan yang dianutnya sedemikian rupa. Mereka akan total terhadap segala keyakinan-keyakinan tersebut. Seringnya, segala hal yang mereka lakukan justru bukan untuk mereka. Makanya, jadi aktivis itu repot. Tapi mereka mau saja kok untuk repot-repot. Hal-hal yang seperti inilah yang membuat kaum awam tidak habis pikir. Ahh, gitu aja kok repot.



Jangan jadi aktivis kalau tidak mau repot. Jangan jadi aktivis kalau tidak mau waktu, tenaga, pikiran, uang, bahkan jiwamu tersita untuk hal-hal yang bagi orang di luar sana adalah utopia. Jadi aktivis itu adalah sebuah sikap keberpihakan. Sekali kau memasuki dunianya, otomatis disana kau berpihak akan nilai-nilai yang dijunjungnya. Dengan itu, ia tidak akan mudah terombang-ambing oleh opini yang berkembang dalam masyarakat. Maka aktivis memaksamu untuk bersikap tegas. Maka jika kau hendak memasuki dunianya, janganlah sekedar mencoba-coba. Karena sekali bergelut di dalamnya, kau akan mencintainya dan tidak akan melepaskannya lagi.

Pilihan menjadi aktivis tentu punya resiko. Karena pilihan ini pun  semestinya didasari dengan kesadaran atas semua konsekuensinya. Kalau ada mahasiswa tidak pernah kuliah dengan alasan menjadi aktivis, nilai jeblok gara-gara menjadi aktivis, terlambat lulus atau bahkan DO hanya gara-gara alasan menjadi aktivis, sesungguhnya dia belum siap menjadi seorang aktivis sejati. Dia bukanlah aktivis. Dia hanya mahasiswa yang terjebak pada aktivitasnya. Dia hanyalah seorang organisator yang mencari kesibukan dengan berpura-pura menjadi aktivis. Biasanya perbedaannya baru akan terlihat jelas setelah 1-2 tahun pasca ia menyelesaikan studi perkuliahannya dengan tidak lagi menjadi mahasiswa. Akan terlihat mana aktivis mana yang bukan. Coba perhatikanlah.

Antara Aktivis dan Ilmuan

Ada sebuah dimensi persoalan yang rumit dalam diri seorang aktivis mahasiswa sesaat setelah ia memutuskan untuk meleburkan diri dalam aktivitas perjuangan cita-cita yang menjadi ideologi pergerakannya.

Di satu sisi, dunia aktivis memilihnya untuk menjadi seorang “pejuang” demi sebuah cita-cita. Dari sinilah titik mula ia bergerak. Di sisi lain, ada sebuah tarikan kuat berkait dengan statusnya sebagai mahasiswa yang notabene sedang berada pada kamp konsentrasi yang bernama citivitas akademika. Tentu ia akan sering berinteraksi dengan aktivitas keilmuan dan dengan para ilmuan. Katakanlah, untuk sementara itu tidak menjadi persoalan. Di kampus, ya kerja ilmuan. Di aktivitas politik, kerja aktivis. Sehingga paham “lebur satu” akan berlaku. Menjadi aktivis yang ilmuan, sekaligus menjadi ilmuan yang aktivis.

Inilah yang kemudian menjadikannya rancu. Bahwa dunia keilmuan dan dunia aktivisme tidak bisa dengan serta merta dilebur menjadi satu dalam satu aktivitas dan dilakukan oleh seorang aktivis atau ilmuan. Akan terjadi sebuah ambiguitas arah pergerakan. Karena beranjak dari latar belakang yang rancu, metodologi yang rancu, ideologi yang rancu, paradigma yang rancu, dan tentu akan berujung pada hasil yang rancu. Karena pada prosesnya, akan terjadi sebuah ketegangan dan tarik menarik antara kedua dunia ini. Dunia keilmuan, menitikberatkan pada pencarian ilmu dan pengetahuan. Sedangkan dunia aktivisme adalah dunia perjuangan politik. Satu mencari, yang lain berjuang.

Dasar gerak dunia keilmuan adalah dimulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan. Skeptisisme yang melahirkan kebenaran, untuk kemudian dipertanyakan lagi. Ya, karena metode kerja seorang ilmuan adalah mencari kebenaran, mempertanyakannya, kemudian mengujinya. Bagi seorang ilmuan, bisa saja apa yang menjadi hipotesis awalnya nanti keliru setelah diuji. Dan ilmuan tentu dengan senang hati menerima hasil apapun meski tak sesuai dengan hipotesis awalnya. Setelah itu pun seorang ilmuan akan mengujinya lagi, mempertanyakannya lagi, dan mencarinya lagi. Persis seperti sebuah siklus. Bermula dari keraguan, berakhir dengan keraguan.

Sedangkan paradigma aktivis tentu sangat berbeda. Seorang aktivis tentu akan memperjuangkan nilai-nilai, cita-cita, ideologi, kebenaran yang dianutnya bagaimanapun meski langit runtuh. Bagi seorang aktivis sejati, tak ada lagi keraguan dalam cita-cita ini. Urusan mempertanyakan telah lewat, sekarang adalah akumulasi ideologi, untuk dianjurkan, untuk dimarketisasi sehingga semakin banyak orang yang bergabung dan memiliki cita-cita yang sama. Seorang aktivis, memulai dengan kepastian dan mengakhirinya juga dengan kepastian. Tak pernah setitik pun mereka akan mundur dan ragu. Justru aktivis sejati akan sangat membenci sikap keragu-raguan. Karena sekali ragu, berarti sedang mempertanyakan nilai yang dianut. Apalah arti sebuah perjuangan jika titik tolak pemikirannya terus-terusan dipertanyakan. Keraguan, bagi seorang aktivis, sama saja dengan pengkhianatan terhadap pergerakan.

Anda mau jadi aktivis, atau ilmuan? Aktivis ya aktivis, berjuanglah. Ilmuan ya ilmuan, juga, bekerjalah.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun