Mohon tunggu...
Ardhito N.
Ardhito N. Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Urban & Regional Planning - Sepuluh Nopember Institute of Technology

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menilik Skema Pembiayaan "Business to Business" Kereta Cepat Jakarta-Bandung

15 Desember 2017   16:03 Diperbarui: 15 Desember 2017   16:27 3747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Proyek pembangunan infrastruktur Kereta Cepat yang membentang dari Jakarta menuju Bandung sejauh 142 kilometer merupakan salah satu proyek prestisius BUMN dalam menggenjot peningkatan infrastruktur di Indonesia, khususnya dalam aspek transportasi. Pembangunan ini dapat mewujudkan adanya perputaran komuter antara Jakarta dan Bandung, dan memungkinkan tumbuhnya pusat ekonomi baru di antara kedua kota tersebut.

Proyek kereta cepat ini dibangun oleh kerjasama antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dengan China Railway International Co. Ltd., yang kemudian membentuk badan usaha baru bernama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Kepemilikan saham KCIC dapat dirinci, yaitu 40 persen dimiliki oleh China Railway International Co. Ltd., sementara 60 persen dimiliki PSBI yang merupakan gabungan dari WIKA dengan komposisi penyertaan saham 38 persen, KAI 25 persen, PTPN VIII 25 persen, dan JSMR 12 persen. Peletakan batu pertama konstruksi proyek ini sudah dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 21 Januari 2016 lalu, yang menandakan proyek ini sudah dilaksanakan lebih dari satu tahun. Proyek ini sendiri ditargetkan akan selesai dan dioperasikan pada tahun 2019 mendatang.

Ketika meninjau lebih jauh ke belakang, proyek kereta cepat ini sudah lama direncanakan oleh Bappenas pada tahun 2008. Bahkan, Japan International Corporation Agency (JICA) sudah melakukan studi kelayakan terlebih dahulu. Pada saat itu, dana yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 245 Triliun, dimana trase kereta cepat yang direncanakan pada masa itu membentang kurang lebih 700 km antara Jakarta hingga Surabaya.

Namun, usulan skema pembiayaan yang diajukan oleh JICA dinilai terlalu berat karena mekanisme Public Private Partnership yang diajukan terdiri dari 10% pembiayaan ditanggung oleh swasta, 74% ditanggung oleh BUMN khusus dan 16% ditanggung oleh pemerintah. Alasannya karena proyek ini merupakan New Initiative, bukan proyek yang tercantum dalam RPJMN. Kemudian, investor dari Tiongkok datang dengan proposal yang dinilai lebih lebih layak, yaitu rute Jakarta-Bandung sejauh 140 kilometer dengan skema pembiayaan business to business antara BUMN Sinergi dan China Railway International Co., karena proyek kereta cepat ini tidak boleh menggunakan APBN dan APBD. Maka dari itu ditekenlah kerjasama senilai Rp 78 triliun tersebut. Namun, jika menelaah skema pembiayaan yang diusulkan oleh kedua negara adidaya tersebut, skema manakah yang paling cocok untuk diterapkan?

Proyek infrastruktur yang berskala nasional sejatinya dibangun menggunakan anggaran dari APBN maupun APBD, dimana kedua sumber pembiayaan tersebut masuk ke dalam pembiayaan konvensional dalam tinjauan teoritis pembiayaan pembangunan. Namun, ketika proyek tersebut tidak tercantum dalam dokumen rencana jangka menengah atau pendek manapun, proyek tersebut harus mencari sumber pendanaan lain, yaitu swasta.

Disini, China Railway International Co. (CRC) bertindak sebagai investor dan kontraktor yang mengajukan investasi pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung dengan skema kerjasama business to business, yaitu kerjasama dengan PT Sinergi BUMN Indonesia. Investasi senilai Rp 78 triliun tersebut dinilai sesuai dengan skema yang diusulkan oleh pemerintah pusat dimana kereta cepat sama sekali tidak menggunakan APBN maupun APBD, dan porsi saham swasta lebih besar dibandingkan dengan PSBI. Namun, hal ini mengakibatkan kepemilikan dan operasional kereta api cepat Jakarta-Bandung sepenuhnya milik CRC, yang bisa saja menyulitkan transfer saham dan operasional kepada BUMN perkeretaapian, misal PT KAI maupun KCIC.

Sementara, proposal yang diajukan oleh pemerintah Jepang melalui JICA menjamin feasibility study dan pembangunan semua fase dari proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Surabaya, walaupun skema pembiayaannya masih memberatkan APBN. Maka, jika pertimbangannya adalah membangun infrastruktur Kereta Cepat dalam jangka waktu pendek dan rute yang dekat, maka pemerintah telah melakukan langkah yang tepat dengan meneken kontrak dengan Tiongkok dalam pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.

Pembiayaan pembangunan, khususnya dalam kasus kereta cepat ini harus melalui seluruh persetujuan mengenai detail-detail dari linimasa pelaksanaannya dan porsi pembiayaan antara stakeholder yang terlibat. Namun, berkaca dari kasus ini, pemerintah sebaiknya lebih matang dalam merencanakan pengadaan infrastruktur transportasi dalam dokumen perencanaan agar pemerintah dapat memberikan kontribusi dan kepemilikan saham dari infrastruktur kereta api melalui pembiayaan APBN maupun APBD.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun