Mohon tunggu...
Ardi
Ardi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Swasta Mengabdi 12 Tahun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengorbankan Amal Demi "Beramal"

18 Februari 2018   23:44 Diperbarui: 18 Februari 2018   23:51 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
flickr.com/photos/7685805@N07

Kata "amal" berasal dari Bahasa Arab yang berarti "perbuatan." Jamak terdengar sehari-hari kata "amal" diartikan sebagai perbuatan baik. Jika kata "amal" ini disandingkan dengan kata "sholeh", barulah tepat dimaknai perbuatan baik secara bahasa. Dalam istilah, amal adalah segala perbuatan baik yang mendatangkan pahala.

Sedekah, menolong orang, hormat pada orang tua dan guru adalah bagian dari perbuatan baik. Sederhananya, segala perbuatan yang tidak melanggar syari'atagama dikategorikan sebagai amal sholeh. Pedagang yang menjual barang dagangannya akan menuai keuntungan sejumlah mata uang yang sudah ditetapkan pada setiap barang dagangannya. Lalu bagaimana dengan amal? Sama saja.

Beramal juga mendatangkan keuntungan, yaitu jumlah pahala yang nantinya akan dituai pada kehidupan mendatang (akhirat). Beramal harus dilandasi dengan ilmu. Tidak semua perbuatan baik lantas menjadikannya sebuah amal. Disisi lain, ada laku ibadah yang terlihat seperti amal tapi bukanlah perbuatan amal. Apa yang menjadi tolak ukurnya? Adalah ajaran Nabi yang membawa agama.

Suatu hari saya pernah salat berjamaah di sebuah masjid. Shaf satu, dua dan tiga rapi diisi oleh jamaah dewasa. Pada shaf berikutnya tersusun rapi anak-anak yang ikut salat berjamaah. Terdapat satu orang dewasa yang mengawasi anak-anak di shaf paling belakang. Tidak ikut salat berjamaah. Mengawasi anak-anak tersebut hingga selesai pelaksanaan salat berjamaah.

Pertanyaannya adalah apakah perbuatan tersebut dikatakan amal? Sementara salat berjamaah hukumnya wajib bagi laki-laki dewasa. Mungkin tujuannya adalah agar kondisi dalam masjid tertib dan orang-orang dewasa yang sedang salat menjadi khusyuk. Tapi apakah harus mengorbankan suatu kewajiban dimana ikut berjamaah adalah tujuan utama ke masjid?

Ketika ada seorang pemuda yang mempersilahkan seorang tua berjalan lebih dahulu ke masjid, itu baik sebagai sikap menghormati orang yang lebih tua. Namun saat salat berjamaah, tidaklah harus seorang pemuda mempersilahkan seorang tua untuk menempati shaf pertama sebagai bentuk rasa hormat. Tentu berbeda keutamaannya bagi orang yang menempati shaf pertama ketimbang shaf berikutnya.

Bukankah dalam beribadah disuruh untuk berlomba-lomba? Bukankah posisi manusia itu sama di hadapan Tuhan? Karena yang membedakannya adalah iman dan takwa. Mengawasi anak-anak saat salat agar tidak mengganggu orang lain yang sedang salat itu baik, tapi tidak sampai mengorbankan kewajibannya untuk salat berjamaah.

 Jika memang diharuskan untuk menertibkan anak-anak, baiknya seorang dewasa yang mengawasi anak-anak itu berhenti mengawasi mereka saat masuk rakaat terakhir dan bergabung dengan jamaah untuk mendapatkan amal salat berjamaah. Terlepaslah kewajiban salat berjamaah. Tapi akan lebih baik lagi jika melaksanakan salat berjamaah dari awal. Wallahu a'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun