Dalam sejarah kita mengenal masa revolusi industry yang terjadi pada era tahun 20-an. Revolusi itu mengubah cara manusia mengolah hasil alam dengan teknologi yang mempermudah pengolahannya. Pabrik-pabrik berdiri, mesin mesin baru ditemukan yang membuat orang lebih bisa berkreativitas dengan hasil alam dan sekelilingnya.
Mulai dari mesin motor yang menghasilkan sepeda motor dan mobil, mesin pengolahan hasil pertanian dan perternakan yang menghasilkan pabrik susu dan pabrilk makanan, pabrik pengolahan tambang, dll. Singkat kata, milyaran manusia terbantu dan Makmur dengan adanya mesin-mesin itu. Generasi yang lahir pada zaman revolusi industry (sekitar 1920-1965) dinamakan baby boomer karena sedemikian banyak orang punya anak setelah penemuan mesin-mesin itu.
Dua decade setelah revolusi industry mereka ada revolusi lain yang juga tak kalah mengguncang dunia yaitu revolusi teknologi informasi. Komputer dan internet ditemukan sehingga mengubah cara manusia dalam mendapatkan informasi. Revolusi teknologi informasi memungkinkan seseorang terhubung di benua lain dengan audio visual seketika itu juga. Padahal di masa lalu itu jarang bisa dilakukan.
Awalnya informasi memang dikuasai (dipegang) oleh  beragam media seperti suratkabar, majalah, televisi, radio dan sejenisnya. Kondisi itu menjadi lebih maju lagi dengan digitalisasi dimana orang tidak lagi mencari informasi, namun informasi memenuhi ruang-ruang publik kita.            Â
Dengan kondisi begitu seseorang bisa saja disuguhkan informasi yang mungkin tidak diperlukan oleh dia, hanya karena ingin tahu dia pernah mengklik sebuah berita, sehingga yang tersaji padanya adalah berita yang menarik namun sesungguhnya tidak dia perlukan.
Bisa saja berita atau hal menarik itu adalah hal yang berifat toxic atau residu informasi. Bisa hal yang negative ataupun kontraproduktif. Inilah yang sering kita jumpai dan itu bernama hoax. Hoax seringkali berkeliaran di media sosial kita tanpa kendali. Hoax sering menyuguhkan berita atau kabar yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan, sepotong-sepotang bahkan bersifat fitnah.
Tak jarang malah tidak hanya menyinggung seseorang, namun juga menyinggung pemerintahan yang sah dan symbol symbol negara seperti presiden.
Inilah tantangan kita bersama. Kita seharusnya mencari kebenaran sebuah hal atau berita sebelum menyebarkan sesuatu di media sosial. Jangan sampai hanya karena ingin cepat merespon atau menunjukkan eksistensi kita, malah terjerembab pada narasi hoax, adu domba bahkan fitnah. Budayakan tabayun di tengah meluapnya informasidi sekitar kita.