Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi 'Provokator' Perdamaian

10 Agustus 2017   09:36 Diperbarui: 10 Agustus 2017   09:45 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjunjung Perdamaian - http://www.netralnews.com

 Pada pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, istilah 'provokator' begitu familiar. Kata ini seringkali muncul baik di dunia nyata ataupun dunia maya. Provokator berasal dari kata dasar provokasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, provokasi berarti perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, penghasutan, pancingan. Provokator berarti orang yang melakukan aktifitas provokasi.

Dunia maya akhir-akhir ini sering diramaiakan provokasi kebencian. Provokasi yang bernada kebencian, ajakan untuk melakukan kekerasan karena pihak yang berseberangan dianggap salah, sampai ajakan jihad yang mengatasnamakan agama. Provokasi semacam ini begitu mudah kita temukan di dunia maya. Bahkan, dalam forum-forum offline juga sering kita temukan provokasi kebencian semacam itu. Mari kita rubah provokasi kebencian itu, menjadi provokasi perdamaian. Mari perbanyak pesan damai dalam keseharian kita. Tidak hanya ujaran tapi juga perilaku.

Memperbanyak pesan damai dalam berbagai bentuk ini, merupakan bagian dari upaya untuk mendorong dan menjaga Indonesia tetap damai. Apalagi, saat ini kelompok radikal dan intoleran, masih sering melakukan provokasi kebencian di sosial media. maraknya provokasi ini telah membuat sebagian dari masyarakat kita menjadi masyarakat yang mudah marah. Banyak kasus diberbagai daerah, dimana konflik terjadi karena terprovokasi oleh provokasi media sosial.

Konflik yang terjadi akibat provokasi ini, tentu akan membuat persatuan dan kesatuan negeri ini terganggu. Dan kalau sudah terganggu, dikhawatirkan akan dimanfaatkan kelompok radikal dan teroris, untuk membuat kondisi semakin runyam. Mari kita lihat sejarah. Banyak kelompok teror memanfaatkan konflik lokal yang terjadi di Ambon dan Poso, untuk melawan pemerintah. Untuk mendapatkan simpati, mereka pun membungkusnya dengan nilai-nilai keagamaan. Jihad dengan cara kekerasan dimaknai sebagai hal yang dibenarkan. Akibatnya, banyak generasi muda ramai-ramai melakukan jihad dengan cara kekerasan ini.

Padahal, jihad yang benar adalah melawan diri sendiri, agar bisa mengendalikan amarahnya. Jihad yang benar akan berdampak pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Bukan kondisi yang serba penuh kekhawatiran. Ujaran kebencian, aksi persekusi, aksi main hakim sendiri, aksi menebar bom merupakan bagian dari bentuk teror, yang bisa membuat kondisi tidak kondusif. Negeri ini butuh generasi yang bisa merajut damai, bukan merajut konflik. Negeri ini juga butuh generasi penebar kedamaian, bukan generasi penebar teror.

Mari kita jadikan bulan kemerdekaan, di bulan Agustus ini, sebagai momentum untuk memantapkan diri menjaga NKRI. Indonesia adalah negara besar yang mempunyai tingkat keragaman yang tinggi. Mulai dari suku, budaya, hingga keanekagaraman alamnya. Jika semuanya itu tidak dijaga, maka kebesaran negeri akan hancur oleh diri kita sendiri. Jika dulu para pendahulu berjuang merebut NKR dari tangan penjajah, saat ini tentu konteksnya sudah berbeda. Bentuk penjajahan sudah tidak lagi secara fisik, tapi juga ideologi, ekonomi, bahkan dalam bentuk yang lain. Karena itulah, mari menjadi 'provokator' perdamaian agar negeri yang kaya ini tetap bisa toleran, dan menghargai keberagaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun