Proses elektoral selalu melibatkan perempuan. Sayang, posisi keterlibatan perempuan bukan sepenuhnya sebagai subyek.
Satu.
Isu perempuan -dan anak- masih saja menjadi materi dan bahan perolehan suara. Perempuan masih saja terlihat cenderung negatif, hingga kalangan elit begitu enteng mencipta retorika pembelaan dan penyelamatan kaum perempuan. Sebut saja pembicaraan soal para perempuan tua yang belum paham mengakses fasilitas publik. Kenapa bukan dilihat dari sisi keterjangkauan informasi? Atau kenapa kekerasan dalam rumah tangga jarang dilihat dari sisi etika -bagaimana seharusnya- manusia? Atau kenapa kesetaraan gender bukan diupayakan dari berdayanya semua lapisan masyarakat?
Dua.
Gak jarang perempuan berparas bagus a.k.a cantik menjadi sebuah bahan perbincangan calon pemilih. "Aku pilih beliau aja, soalnya isterinya cantik". Atau soal kemesraan sebagai potret hubungan harmonis rumah tangga kandidat laki-laki juga masih menjadi satu bahan untuk meningkatkan elektabilitasnya. Atau kamu ingat saat salah satu kandidat presiden Indonesia dipasangkan dengan foto kuda? (:
Tiga.
Prosentase batas minimal partai politik memberi ruang untuk perempuan hanyalah syarat administratif belaka. Bangsa ini belum mampu mencetak lebih banyak mental perempuan yang dengan sendirinya sadar untuk mengisi jabatan publik. Buktinya, angka terpenuhinya kuota perempuan masih digadang-gadang oleh para pencari kekuasaan.
Empat.
Lebih dari empat kali aku ditanyai: "Kenapa harus memilih kandidat perempuan?". Lebih dari empat kali pula menemui banyak orang mengungkapkan pendapat bahwa perempuan harus dipilih karena ia lembut, teliti, hati-hati, sabar, penuh kasih sayang, dan ya begitulah. Benar-benar membosankan. Perempuan selalu cerminan emosional. Laki-laki mutlak rasional. Padalah, laki-laki dan perempuan ya sama. Sama-sama manusia. Manusia, apapun jenis alat kelaminnya, ia hidup bersama dengan pikiran dan perasaan. Manusia yang hidupnya sama-sama melewati proses pembelajaran. Manusia yang hidupnya sama-sama berjuang mengukir prestasi. Laki-laki dan perempuan sama. Termasuk sama-sama punya hak untuk dipilih. Apakah perempuan harus meratakan dada, pasang penis dan jakun supaya terhindar dari pertanyaan kenapa perempuan harus dipilih(?)
***
Mungkin, kesetaraan akan indah saat dunia sudah tak lagi membicarakannya. Mungkin, kesetaraan akan tercapai saat dunia berhenti menuntutnya. Mungkin, kesetaraan akan terasa saat setiap dari kita sudah mampu untuk menjadi berdaya.
***