Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Merupakan pribadi yang amat senang bertukar cerita, pengalaman, dan hal baru dengan semua orang dari berbagai latar belakang. Saya percaya bahwa dengan mengaktualisasikan diri melalui pertukaran dan eksplorasi ide dengan orang lain, akan tercipta ruang kebebasan berekspresi dan kesetaraan bagi setiap manusia. Jadi, mari kita saling berbagi gagasan dan berekspresi bersama!.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pemerkosanya?

26 Januari 2021   20:07 Diperbarui: 3 Februari 2021   11:01 5883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban pemerkosaan. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Apalagi jika korbannya adalah anak di bawah umur dan pelaku merupakan seseorang yang jauh lebih tua. Sejatinya, semua perempuan berpeluang untuk mengalami tindakan mengerikan ini, tak pandang rupa, pakaian, bahkan umur, sehingga kita tidak bisa menghakimi perbuatan tersebut seenaknya.

Sifat judgemental masyarakat membuat korban takut untuk melaporkan pemerkosaan yang dialaminya. Bayangkan saja, bagaimana korban akan berani untuk melapor jika diancam oleh pelaku, dianggap aib keluarga, dan diberi stigma buruk oleh masyarakat? Akibatnya, tindakan keji ini terbenam begitu saja dalam stigma "mau sama mau" yang dilekatkan kepada korban.

Bukan tidak mungkin trauma psikis korban semakin menjadi-jadi. Korban akan menanggung trauma psikis bahwa ia tak lagi berguna di mata masyarakat. Tak ada yang berpihak padanya. Akhirnya, tak jauh-jauh dari dalih "Menutupi aib keluarga", korban terancam dinikahkan dengan si pemerkosa.

Khawatir Kalau Tidak Akan Ada yang Mau Menikah dengan Korban

Keperawanan masih menjadi indikator yang sangat penting untuk menentukan "derajat" perempuan di mata masyarakat. Untuk mencari jodoh pun, banyak laki-laki yang menjadikan indikator keperawanan sebagai patokan utama. Bahkan muncul berbagai trik konyol yang dinilai dapat mengetahui seorang perempuan masih perawan atau tidak. Benar-benar keterlaluan.

Namun hal ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena budaya kita memang melarang seks yang dilakukan di luar nikah. Oleh karenanya, menjaga keperawanan seolah-olah menjadi kewajiban bagi perempuan yang belum menikah. 

Namun hal ini menjadi berlebihan dan kejam, ketika masyarakat kita memandang rendah korban pemerkosaan akibat menjadikan keperawanan sebagai tolok ukur kesucian perempuan.

Tanpa peduli pada masa-masa sulit yang dialami korban, korban dianggap tidak bisa menjaga kesuciannya. Bukannya melindungi dan membantu pemulihan korban, justru stigma negatif lah yang akan diberikan oleh mereka. Oknum-oknum kejam mulai berpandangan bahwa korban pemerkosaan tak layak untuk dinikahi karena telah "terjamah" laki-laki lain.

Akibatnya, keluarga korban merasa was-was jika tidak akan ada pria yang mau menikahi korban. Lagi-lagi, keluarga yang seharusnya memberikan rasa aman dan membantu pencarian keadilan justru turut serta dalam memberikan stigma buruk bagi korban.

Anggapan Bahwa Menikahkan Korban dengan Pelaku Adalah Upaya Damai yang Tepat

Dilansir dari icjr.or.id, menurut pemberitaan beberapa media, telah terjadi kekerasan seksual terhadap anak santriwati usia 16 tahun di salah satu pesantren di Kubu Raya, Kalimantan Barat pada akhir Juni 2019. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun