Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menyukai hal-hal sederhana, suka ngopi, membaca dan sesekali meluangkan waktu untuk menulis. Kunjungi juga blog pribadi saya (www.arsitekmenulis.com) dan (http://ngeblog-yuk-di.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

"Ride Sharing", Solusi Cerdas Mengatasi Kemacetan Bareng-bareng

12 November 2017   23:59 Diperbarui: 13 November 2017   00:51 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot dari Facebook Hendra Budi Arsitek

Jakarta, kota yang paling sibuk, padat, dan ramai di Indonesia. Tempat hidup kurang lebih 10 juta orang yang menetap di dalamnya dan ditambah kurang lebih 2 juta orang lagi setiap harinya berseliweran keluar masuk, baik sekadar untuk menjadi wisatawan maupun menggantungkan hidupnya alias mencari makan. Kota yang luasnya tidak sampai 2 persen dari luas wilayah provinsi Sulawesi Selatan, bahkan masih lebih luas pulau Buton. Tapi, kota ini punya magnet yang sangat kuat, pakai bangat malah dan fakta yang tak terbantahkan.

Terbukti, setiap tahunnya banyak orang berbondong-bondong ke Jakarta? Alasannya tentu saja karena Jakarta menawarkan sesuatu yang tak bisa ditawarkan oleh kota-kota lain, apalagi kampung halaman mereka. Ada yang bilang kesempatan di kota ini sangat terbuka lebar, yang tentunya di ikuti oleh penghasilan yang lumayan besar dan juga karir yang lebih bagus, serta banyak kelebihan lainnya. Bahkan menurut cerita yang sering saya dengar semasa kecil, di kota ini, asal mau bekerja apa saja maka yakin saja, kamu pasti akan bisa bertahan. Sehingga lengkaplah sudah menjadikan Jakarta sebagai pusatnya Indonesia, dan segala hal-hal yang baik di negeri.

Namun dibalik segalanya yang menjadikan Jakarta magnet dengan daya tarik yang begitu kuat, muncul beragam problem yang menjadikan siapa pun yang memimpin kota ini seperti kewalahan dalam mengatasinya. Sebut saja di antaranya seperti masalah kemacetan yang hingga kini belum ada formula yang tepat untuk mengatasinya.

Seperti yang kita semua ketahui dan saksikan, semakin bertambahnya ruas jalan, maka jumlah kendaraan roda empat dan roda dua pun ikut membludak, dua hingga tiga kali lipat dan ujung-ujungnya tidak tertampung oleh ruas jalan yang ada. Itupun belum lagi ditambah dengan perilaku sebagian pengguna jalan yang kadang bikin geleng-geleng kepala, dan masih banyak lagi masalah-masalah lainnya.

Ya, kemacetan lalu lintas memang sudah menjadi momok harian warga Jakarta. Dan jika dibandingkan dengan pengalaman saya berkunjung ke kota ini 6 tahun lalu (tepatnya pertengahan Mei 2011), kemacetan tahun ini terbilang hampir merata di semua sudut dan tak tanggung-tanggung sudah menyentuh ke pinggiran kota (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Akibatnya, energy dan waktu lebih banyak dihabiskan di jalan, biaya transportasi dan stress meningkat, dan waktu untuk bercengkrama dengan keluarga semakin berkurang bahkan mungkin hilang, hingga istirahat pun jadi kurang nyaman, dan banyak moment lainnya yang banyak terlewati.

Tak cuma itu saja, efek kemacetan juga membawa perubahan pada psikologi, seperti emosi yang kadang tidak terkendali, kualitas hidup jadi kacau, pekerjaan pun kadang ikut jadi berantakan, hingga frustasi. Sedang di sisi lain, badan pegal, sakit punggung, nyeri pinggang, dan gampang capek ikut menghantui. Menjengkelkan memang, tapi apa mau dikata, itulah resiko yang harus diterima.

Mengatasi masalah kemacetan, khususnya Jakarta tak semudah membalikkan telapak tangan dan tak semudah mengatakan "gampang" kok, dan bla bla bla. Malah bisa dibilang, salah satu pertanyaan yang paling sulit dijawab di Indonesia adalah "Bagaimana cara mengatasi kemacetan di Jakarta?"

Kenapa sulit? Fakta dijalanan sudah menjawabnya tanpa harus menunggu melakukan riset terlebih dahulu dan lain sebagainya. Saya sendiri pernah menjadi bagian di dalamnya kurang lebih selama 3 bulan lamanya (Desember 2016 hingga Februari 2017). Saya jadi tahu bagaimana rasanya berada di tengah kemacetan selama 5 jam lamanya, pegal dan capek minta ampun. Duduk di kursi mobil 45 menit dari pinggiran Jakarta Timur, tepatnya daerah Cimanggis ke halte busway PGC Cililitan. Kemudian di busway berdiri 2,5 jam lamanya ke halte Pulogadung dan 1 jam 15 menit dari halte Pulogadung ke Bekasi. Nggak kebayang kan capeknya.

Meski kemacetan Jakarta bukan lagi hal baru dan sudah bertahun-tahun terjadi, bukan berarti pemerintah dan sebagian orang yang peduli lebih akan Jakarta tidak berusaha untuk mencari solusinya. Mereka berusaha terus untuk melakukan inovasi demi menjadikan Jakarta sebagai kota yang nyaman untuk siapa pun, lebih khusus lagi saat dijalanan.

Nah, ngomongin tentang kepedulian dan inovasi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Beberapa tahun belakangan ini, para pemilik StartUpberlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik. Salah satunya adalah pioneer trasnportasi online yang di kenal dengan nama Uber.

Ternyata, Uber tak berhenti melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan kepada konsumennya. Belum lama ini, Uber meluncurkan layanan baru yang diberi nama Ride Sharing. Apa itu? Dari kata ride, sudah jelas artinya untuk yang berkendara. Dan sharing yang artinya berbagi/bersama. Dengan kata lain Ride Sharingadalah berkendara bersama. Artinya, layanan ini ditujukan kepada konsumen untuk berkendara bersama meski tempat yang dituju berbeda, tentunya keselamatan dan keamanan penumpang tetap di utamakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun