Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hutan Keramunting di Bukit Kecil, Buku Anak yang Membuat Saya Jadi Pencuri

17 Mei 2021   11:59 Diperbarui: 17 Mei 2021   16:42 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompal : Kompasianer Palembang

Selamat hari buku nasional! Yups, tanggal 17 Mei memang diperingati sebagai hari Buku Nasional sejak tahun 2002 silam. Alasan dipilihnya tanggal tersebut biar sama dengan tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional RI pada 17 Mei 1980.

Bicara soal buku, sebetulnya ada banyak sekali buku berkesan dan sangat berpengaruh di sepanjang hidup saya. Meski demikian, rasanya belum pernah ada buku yang membuat saya jadi pencuri seperti halnya yang satu ini. 

Hutan Keramunting di Bukit Kecil (sumber : buka lapak)
Hutan Keramunting di Bukit Kecil (sumber : buka lapak)
Buku itu berjudul Hutan Keramunting di Bukit Kecil karya Tartila Tartussi. Sebuah buku lama, terbitan Bina Rena Pariwara di tahun 1992. Buku itu tidak dijual di toko buku langganan saya saat kecil (ya iyalah wong di sampulnya ada tulisan "milik negara", tidak diperdagangkan). Saya berjumpa dengannya di perpustakaan SD. 

Hutan Keramunting di Bukit Kecil sebetulnya "hanya" sebuah buku anak biasa. Berkisah tentang keseharian Ipul, seorang bocah kelas 4 SD yang begitu lekat dengan kehidupan saya pada pertengahan 90-an.

Ipul punya keluarga dan teman-teman yang baik. Sepulang sekolah ia akan menggembala kambing bersama teman-temannya di bukit. Kambing itu diberi nama Emeh yang kemudian menginspirasi saya menamai semua kambing milik mama saya dengan nama yang sama

Hutan Keramunting di Bukit Kecil sebetulnya "hanya" sebuah buku anak biasa. Namun kisah-kisah yang tertuang di dalamnya membuat saya begitu nge-fans dengan Ipul. Mungkin nyaris bisa disejajarkan dengan Tante saya yang nge-fans dengan Lupus kala itu. Bab demi bab saya lahap habis berulang-ulang, bahkan sempat hafal setiap kalimat yang tertulis di dalamnya. 

Kisah Marni, adik Ipul yang rambutnya dipotong kakek dengan batok kelapa. Kisah Ipul saat disunat. Kisah Ipul yang begitu berbahagia hanya dengan mengumpulkan jamur-jamur di musim hujan. Kisah Ipul yang terkadang harus dihukum karena berkelahi. 

Begitu terbiusnya saya dengan petualangan Ipul, sampai saya tidak rela mengembalikannya lagi ke perpustakaan. Ya. Saya dengan sangat sadar sengaja tidak mau mengembalikannya lagi. Buku itu saya akui jadi milik sendiri. Saya sampul dengan kertas kacang cokelat untuk mengecoh mama saya yang suka "merazia" dan membereskan rak-rak buku saya. 

Ipul sudah seperti pacar khayalan saya, yang tidak rela ia dimiliki (dibaca lebih tepatnya) oleh orang lain. 

Namun sayang, buku itu sudah tidak tahu rimbanya sekarang. Kemungkinan besar raib saat kami sekeluarga pindah rumah dari Bengkulu ke Palembang. Saat itu ada banyak sekali koleksi buku saya yang hilang. 

Hari ini, saya begitu merindukan Ipul dan teman-temannya. Saya begitu ingin membaca lagi kisah yang menemani masa kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun