Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bijak Berkamera di Rumah Duka

29 Februari 2020   11:33 Diperbarui: 29 Februari 2020   14:13 3314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bijak Berkamera di Rumah Duka (pict: thegorbalsla.com)

Lewat 10 hari sejak suami BCL, Ashraf Sinclair, berpulang, sejumlah media dan infotainment seolah masih tak bosan menyorot duka keluarga ini. Yah, wajar, namanya juga publik figur. 

Meski begitu, saya membatin, kalau seandainya Mbak BCL bisa memilih, pasti beliau sebenarnya sangat ingin semua pemberitaan yang menyorot dukanya ini berakhir. Cuma satu alasan: capek! 

Hampir setiap kita rasanya pernah berduka karena kematian orang terkasih. Kalau belum, ya tunggu giliran saja. Maut itu pasti kok. 

Saya juga pernah merasakan sendiri saat papa meninggal 2 tahun lalu. Kalau dibilang rasanya kaya "langit runtuh" itu benar. Saking nggak keruannya. Saking capeknya menanggung semua emosi yang mau meledak di kepala.

Duka kehilangan itu sendiri rasanya sangat berat untuk ditanggung. Meski begitu, rupanya ada lho pihak-pihak yang kaya sengaja nambah-nambahi beban kami yang berkabung saat itu. 

Maksud yang "nambah-nambahi" di sini ialah para pelayat yang nggak pake izin, nggak pake basa-basi, ehh, langsung nyelonong nyodorin kamera HP ke jenazah papa yang waktu itu terbaring di peti. Belum cukup, saya dan keluarga yang masih bersimbah air mata pun nggak lepas dari sasaran jepretan kamera HP mereka. 

Bahkan sampai prosesi pemakaman pun, kayanya lengkap mereka dokumentasikan. Jika sampai di sana kelakuan mereka, mungkin saya masih bisa woles meski sesungguhnya sangat gedek. Tapi nyatanya nggak. 

Mereka mengunggahnya di sosmed, menandai saya, dan ya, semua duka saya --duka kami-- itu dipertontokan ke banyak orang. Ke orang-orang yang bahkan kenal kami juga nggak.

Saya benar-benar nggak suka foto jenazah papa atau foto keluarga kami yang kompak bermata bengkak muncul di sosmed, diunggah orang lain pula (kalau misal masih hitungan keluarga masih akan saya maklumi).

Saat itu, sesungguhnya saya sangat ingin melabrak si oknum ini. Atau setidaknya ngasih tahu kalau kami keberatan. Tapi faktanya benar-benar nggak ada energi lagi tersisa, semua sudah terkuras untuk nangisin papa. Untuk mikirin gimana ngejalanin hari-hari tersisa tanpa kepala keluarga. 

Saya yakin nggak cuma saya yang merasa gedek dengan perilaku oknum macam ini. Hampir di setiap rumah duka yang didatangi selalu menemukan fenomena demikian (Malah ada yang segitu pedenya rebutan selfie dengan jenazah lho). Entah apa yang dicari, entah apa yang dibanggakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun