Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mutlaknya Siap Mental, Saat Menang Maupun Kalah

26 November 2019   07:43 Diperbarui: 26 November 2019   12:40 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Best Citizen Journalism 2019: dok. Kompasiana

Ada 2 alasan kenapa saya tidak bisa datang ke perhelatan Kompasianival akhir pekan lalu.

Pertama, perkara teramat klise yang dihadapi anggota Persatuan Anak Kos Seluruh Indonesia : budget. Selain bukan anak sultan, saya harus ekstra berhemat karena sebentar lagi mau wisuda.

Ya bisa aja sih nekat berangkat, tapi saya sungguh tidak rela kalau harus mengganti semua menu makan sama mie instan sampai berbulan-bulan ke depan.

Meski alasan pertama akan sangat mudah dicari jalan keluarnya (menggalang dana untuk #OngkosinArako di Kita Bisa, misalnya, atau ngerampok Dokter Posma Siahaan), namun tidak dengan alasan kedua: Saya kumat. 

Ya, monster mental illness dalam diri saya terbangun betul-betul di saat nggak pas. Nggak lama setelah daftar nama Nomine Kompasiana Awards diumumkan. 

Saya yakin nggak ada yang tahu betapa kacaunya saya pasca-pengumuman daftar nomine itu. Teman-teman Kompal pun juga kayanya nggak ada yang tahu juga, karena dari luar saya masih terlihat seperti biasa. Masih eksis di sosmed, haha hihi di WAG, masih heboh masih rame kaya biasa. 

Ya, awalnya memang biasa saja, ikut seneng karena target Kompal untuk meloloskan anggota ke daftar nomine sudah terpenuhi. Namun setelahnya? 

Saya cemas dan cemas luar biasa, nyaris kena serangan panik malah. Saya pikir jadi salah satu nomine itu keren, membanggakan... ternyata nggak. Buat saya itu menakutkan dan bikin tertekan. Karena untuk pertama kalinya, saya sadar kalau saya AKAN DIPERHATIKAN oleh semua Kompasianer. 

Saya mulai cemas, benarkah saya pantas masuk di daftar nominasi itu? Saya langsung cek tulisan-tulisan selama tahun 2019 ... cuma sedikit. Itupun tulisan gado-gado, ga ada apapun yang menunjukkan "CITIZEN JOURNALISM". Terus lihat nama-nama "saingan" yang dilihat dari sudut manapun emang pantes dan layak dinominasikan. 

Lha saya? 

Dikasih makan pikiran buruk dan insekyuritas diri yang ga bisa dibendung, si monster itu akhirnya benar-benar bangun. Saya benar-benar ketakutan. Bukan takut kalah (karena ini sudah biasa), tapi saya benar-benar takut menang. 

Saya nggak bisa mengaku sama siapapun saat itu kalau saya takut menang. Karena pasti malah nambahin panik. Dicap sombong lah, sok lah, apalah. Tapi seperti halnya pengidap Anxiety Disorder lainnya, kami memang mudah sekali cemas untuk apapun yang belum (tentu) terjadi.

Saya sudah melakukan segala cara untuk tenang, tapi nggak bisa. Berhari-hari nggak bisa tidur.

Saya benar-benar takut kalau nanti menang ujungnya cuma tertekan karena dinyinyirin orang, dianggap ga pantes menang, atau malah dianulir karena nggak mereprentasikan "best citizen journalism" blass. 

Belum selesai, saya mulai menyesal karena males-malesan nulis di bulan-bulan ke belakang. Saya nyalahin diri sendiri kenapa nggak bisa konsisten kaya orang-orang. Kenapa nggak bisa bikin tulisan yang bikin saya laik menang. Saya bisa sampai kepilih jadi nomine itu memang cuma gara-gara kekuatan komunitas semata, bukan kualitas.

Sampe berapa hari, saya makin gelisah. Saya mulai hubungi beberapa teman Kompasianers menyampaikan kegelisahan Saya. Betapa insekyur saya makin jadi. Betapa saya ngerasa benar-benar ngerasa nggak layak. Betapa saya mulai lagi benci diri sendiri.

Mereka yang saya hubungi berusaha menentramkan. Menenangkan hati saya dengan segala cara. Bilang saya layak. Bilang tulisan saya bagus. Bilang kalau misalnya nggak layak, sekalipun temen ya ngapain didukung? 

Tapi nggak mempan. Saya makin cemas dan frustrasi. Saya merasa ga satu orang pun yang ngerti betapa seriusnya kekhawatiran saya itu. Beruntung, ada satu teman yang punya gangguan kecemasan juga, namanya Farrah. Dia berusaha membantu saya mengatasi ketakutan-ketakutan itu.

Terakhir, setelah mungkin lelah berdebat dan gagal meyakinkan kalau saya ini sebenarnya layak masuk daftar nomine, dia bilang gini :

"... Ok, Ra. Sekarang kita anggap aja bener kamu nggak layak masuk nomine itu, ya udah ... kata orang tu tinggal 'fake it until you make it'. Yang penting sekarang jangan nyerah dan mundur. Pokoknya kamu harus maju dulu!"

Fake it until you make it.

Mantra ini lah yang akhirnya mampu menarik saya dari jurang keputusasaan dan penghakiman brutal terhadap diri sendiri. Hari-hari selanjutnya, meski kecemasan itu nggak benar-benar hilang, tapi perlahan tenang dan semakin rileks. 

Saya masih berjuang, tapi nggak ngotot. Woles ajalah. Santai kaya di pantai. Diminta admin nulis postingan kampanye ya saya tulis. Disuruh promosikan ya saya share di akun media sosial. Kalau ada yang kebetulan mampir komen, ya saya reply dengan "Vote Arako yaaaa..."

Tapi sudah, sebatas itu saja. 

Hingga akhirnya saat malam pengumuman kabar bahagia itu, meski saya masih berstatus TIDAK MENYANGKA sampai sekarang, namun jauh di lubuk hati ... saya tahu mental saya SUDAH SIAP menerima hasil itu. Karena hal-hal terburuk yang bisa terjadi kalau saya sampai menang, sudah terjadi dengan segitu mengerikannya di kepala saya sendiri pada minggu-minggu sebelumnya.

***

Apa yang saya alami ini adalah bukti kalau kesiapan mental mutlak dibutuhkan dalam setiap kompetisi. Kesiapan mental nggak cuma dibutuhkan saat kita menghadapi kemenangan, tapi juga kekalahan. Kesiapan mental akan menjaga dari keterpurukan atau kehilangan sukacita atas apapun hasil yang diterima. 

Saya benar-benar sudah kebal kalau menerima kekalahan mah. Lha setiap ikut lomba apapun jauh lebih banyak kalahnya kok. Tapi untuk siap menerima kemenangan, ternyata juga nggak segampang itu. 

Saya sekarang juga mulai mengerti kenapa Tuhan izinkan saya menerima kemenangan, tapi nggak izinkan saya ke Kompasianival. Sebab kalau datang, bisa jadi saya malah besar kepala dan hati saya ternoda oleh kesombongan. Atau kondisi psikis saya yang mulai stabil beberapa hari ini mungkin akan kembali berantakan saking emosionalnya. 

Saya tahu, ada banyak suara yang meragukan dan merasa saya tidak layak menang. Ada nama-nama lain yang lebih pantas untuk menyandang gelar Best Citizen Journalism 2019. Iya, saya pun di lubuk hati paling dalam juga merasa begitu sebetulnya.

Tapi saya nggak mau terpuruk dan membiarkan monster mental illness itu terbangun lagi. Saya merasa mengikuti semua prosesnya dengan fair dan sama sekali nggak melakukan kecurangan kok.

Toh, dari awal penyelenggara sudah bilang kalau pemenang kategori ini ditentukan oleh voting. Kalau saya sampai menang, ya berarti ada banyak yang nge-vote saya. Gitu aja. Titik.

Eh, ngomongin hasil vote, banyak yang mengira kalau kemenangan saya (dan Mas Pringadi Surya di jalur fiksi) itu adalah berkat kekuatan komunitas kompal. Saya tidak menampik itu, tapi sebetulnya tidak sepenuhnya tepat juga.

Kompal mengajukan 4 nama untuk nominasi, satu di setiap kategori. Tapi hanya mampu meloloskan 2. Jika memang Kompal "sehebat" itu, maka setidaknya pasti lolos 4-4nya ke daftar nominasi. Nyatanya tidak. Jadi pasti ada faktor lain.

Saya tidak meragukan dukungan komunitas Fiksiana Community dan RTC, karena K-ners dari 2 komunitas inilah yang sudah mengenal saya cukup baik. Tapi kalau diingat lagi, saya juga nggak pernah segitunya ngotot minta dukungan. Yang saya hubungi secara khusus lewat japri benar-benar bisa dihitung dengan jari.

Mak Eka Murti, Je Zee, Alin You, Mbak Irma Tri Handayani, Mak Sekar Mayang, Kak Zaldy Chan, Kak Maria Kristi, Bunda Dinda Pertiwi, sama Mbak Wahyu Saptarini. Betul, hanya 9 orang member FC dan RTC inilah yang saya mintai dukungan secara khusus karena memang merasa sudah "kenal dekat" jadi nggak segan lagi. Ini pun salah satunya kemarin ngaku kalau sebenernya nggak sempat vote saya

Jadi sebetulnya, saya sendiri juga tidak menyangka hasilnya akan benar-benar semanis ini. Lha pasti ada banyak silent voters yang mendukung saya kan? Siapa silent voters ini? Saya nggak tahu. Kompal juga nggak tahu.

Tapi siapapun itu, mereka semua pasti sudah melihat sesuatu dalam diri saya yang mungkin luput dari mata saya sendiri. Entah apa pun bentuknya. Jadi, kalau sampai kemenangan saya diragukan, kok rasanya jadi kaya meragukan jari-jari tak terlihat yang sudah bersedia repot-repot nge-vote?

Makanya saya nggak mau membully diri saya sendiri lagi. Saya boleh nggak percaya diri, tapi setidaknya saya harus percaya sama mereka-mereka yang mendukung saya. Kalau Tuhan berkehendak dan izinkan saya menang, maka saya memang layak dan siap untuk itu. Nih, buktinya, Kang Maman Suherman aja sampai nyelametin lho. Ehehehe...

Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan selamat untuk para pemenang, semoga ini jadi pemicu untuk lebih baik ke depannya. Juga yang belum menang, jangan galau berkepanjangan. Ayo gosok ale-ale, eh ...maksud saya...ayo coba lagi tahun depan. Ada banyak kategori baru yang lebih menantang untuk diikuti. 

Terakhir, meski sebetulnya harusnya ditaruh pertama, terima kasih untuk kalian-kalian yang sudah memberikan dukungannya untuk saya. Tanpa kalian, kompasianers yang udah 7 tahun tapi masih centang ijo ini mustahil bisa punya thropy pertama yang bisa disimpan di rumah. 

Peluk dan hormat untuk keluarga besarku di Kompal, Fiksiana Community, dan RTC. Untuk Kompasianers yang meskipun tidak bergabung di komunitas sama, namun rajin berkunjung dan meninggalkan jejak di setiap tulisan saya, terima kasih. Kalian mood boaster saya.

Untuk semua crew dan mimin Kompasiana, terima kasih untuk kerja kerasnya. Doakan saya bisa benar-benar hadir di Kompasianival tahun depan. Amin.

Tentu saja, saya nggak lupa kalau semua ini terjadi semata hanya karena izin-Nya. Terima kasih Tuhan Yesus, untuk membuat saya merasa begitu dicintai. 

Tepian Musi, Bulan Hujan 2019

Arako.

***

Nb. 

Meski saya nggak pernah benar-benar janji kirim pempek untuk semua voters seperti yang ada di tulisan ini, namun sebagai wujud rasa syukur, saya akan tetap berbagi paket pempek.

Nggak cuma berlaku untuk pendukung saya, tapi semua K-Ners bisa ikut kok Teknisnya nanti akan lewat Kompal atau FC. 

Kapan? 

Segera setelah hadiahnya ditransfer oleh K. Semoga cepat cair ya, Miinnn

Salam dari Tepian Musi

Dok pri
Dok pri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun