Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jin Kafir? Yesus 2 Kali Dikira Hantu oleh Murid-Nya

18 Agustus 2019   09:12 Diperbarui: 18 Agustus 2019   09:40 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kurnia Harta Winata

Sebelum mulai ibadah pagi ini, jemaat gereja saya sibuk membahas video viral seorang ustadz yang bilang kalau dia melihat Jin Kafir di Salib. Secara umum jemaat terbagi dua : mereka yang baper dan mereka yang woles.

 Saya yang mana? Yang woles. 

Bisa dibilang teramat woles malah. Butuh proses panjang hingga saya berada di titik di mana saya tidak lagi merasa marah, jengkel, atau tersinggung ketika ada orang lain yang mengatakan hal-hal tidak mengenakkan tentang Tuhan dan apapun yang saya yakini. 

"Pembalasan adalah hak-Ku," bunyi Firman Tuhan. Itu sudah cukup untuk meredam saya dari segala bentuk kebaperan. Kok kesannya kaya Tuhan itu kurang Maha Adil dan kurang Maha Melihat saja sampai saya merasa penting banget untuk membalaskan semua itu. 

Sudah, biarkan. Saya tahu persis, tugas saya itu cuma mengampuni, mengampuni, mengampuni, memaafkan, mendoakan. Balas kejahatan dengan kebaikan.

 Nggak sanggup? Yo wes, diam saja. Ga usah nambah dosa dengan balas mengumpat atau menghina. 

Ehem, balik lagi ke kasus jin kafir. Saya sama sekali nggak melihat keanehan dengan statement itu lho. Jangankan seorang ustadz yang --katakanlah-- sama sekali nggak kenal Yesus, lha murid-murid-Nya saja yang hidup bareng DIA saja sempat mengira Yesus itu hantu kok. Nggak cuma sekali, Alkitab sedikitnya mencatat dua kali peristiwa Yesus dikira hantu ini.

 Yang pertama saat murid-murid berlayar di danau Galilea tepat setelah mujizat Yesus memberi makan 5000 orang. Saat itu terjadi badai dan gelombang yang membuat murid-murid tersebut ketakutan. Lalu pada pukul 3 pagi, Yesus datang mendekat ke arah mereka dan berjalan di atas air. 

"Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru : "Itu hantu!", lalu berteriak-teriak karena takut. Tapi segera Yesus berkata kepada mereka : "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (Matius 14:26-27). 

Peristiwa kedua terjadi setelah Kebangkitan, saat Yesus menampakkan diri pada murid-murid-Nya. Tapi murid-murid-Nya malah terkejut dan takut, serta mengira DIA itu hantu. Namun Yesus menenangkan mereka dan berkata, 

"Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku : Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku." (Lukas 24:39) 

Dari dua peristiwa yang tercatat dalam Alkitab ini saya cuma bisa ambil pelajaran, bahwa kesalahpahaman bisa terjadi sama siapa saja. Bahkan sama orang-orang yang bolehlah kita sebut "orang dekat. Jadi kenapa Pak ustadz yang sedang diributkan itu nggak boleh salah paham? 

Lagipula, di mata saya rasanya terlalu rendah kalau menyamakan Pribadi Yesus itu hanya dengan dua potong kayu yang disatukan. Sungguh, Yesus yang asli itu jauh lebih keren dan mulia ketimbang dengan apa yang terlihat dari sebuah kayu salib.

Bukankah kita yang belajar Alkitab dan sejarah harusnya tahu persis, bahwa salib itu "hanya" alat untuk eksekusi hukuman mati di zaman itu? Andai Yesus hidupnya di zaman sekarang dan di Indonesia, tentu salib itu akan berubah jadi senapan. Atau kalau di negara lain, bakal jadi kursi listrik. 

Yakin masih bakal dijadikan bandul kalung, hiasan dinding di rumah, atau berdoa menghadapnya?

 Yah, ini kalau kita bicara soal wujud bendanya secara fisik lho ya. Namun seperti halnya sebagian besar orang Kristen dan Katolik, saya tentu melihat salib dengan lebih dari sekadar alat eksekusi. Salib itu simbol pengingat tentang sebuah peristiwa Agung, tentang kasih dan pengorbanan terbesar yang pernah ada.

Setiap kali saya melihat simbol salib, maka yang ada di pikiran saya adalah : "Seharusnya saya yang dipaku di sana. Seharusnya saya yang dihukum dan dihinakan sedemikian rupa oleh sebab dosa-dosa saya. Terima kasih, Tuhan ... untuk rela menggantikan saya sehingga saya tidak perlu mengalami semua itu dalam kekekalan nanti." 

Bukan simbol salibnya, bukan fisik bendanya yang kami hormati ... namun Pribadi yang pernah berkorban dan mati di sana lebih dari 2000 tahun yang lalu. 

*** 

Saya kira, dari sisi iman dan keyakinan, sebagian besar umat kristen dan katolik pun juga sama wolesnya seperti saya terkait kasus pak ustadz ini. Namun tentunya kita tidak bisa mengabaikan fakta begitu saja bahwa kita ini juga hidup bermasyarakat.

Punya aturan, punya norma, punya adat, punya hukum ... Kita bukan anak kecil lagi. Harusnya nggak perlu lagi lah diajari soal "saling menjaga perasaan orang lain". 

Nggak sulit-sulit amat kok. Nggak usah jauh-jauh pakai hukum Tuhan. Cukup pakai hukum standar kemanusiaan yang berlaku universal : Lakukanlah apa yang orang lain ingin lakukan pada kita dan janganlah lakukan apa yang tidak ingin orang lain lakukan pada kita.

Salah atau tidaknya perkataan Pak ustadz tersebut, serta apa pun niat beliau saat mengatakan hal itu memang biarlah Tuhan yang menilai. 

Namun sebuah pertanyaan yang mungkin bisa kita renungkan bersama-sama sebagai bagian dari bangsa yang begitu beragam dan hidup berdampingan selama 74 tahun, dalam era di mana setiap perkataan dan tulisan akan dengan mudah ditemukan jejaknya serta disebarkan ke seluruh dunia ... Dilakukan oleh seorang guru, pemimpin yang seharusnya menjadi contoh umatnya ...

Pantaskah?

***

Bulan Merah Putih 2019

Salam dari Tepian Musi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun