Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sehat Mental bersama BPJS Kesehatan

22 Desember 2018   21:39 Diperbarui: 22 Desember 2018   22:08 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehat Mental bersama BPJS Kesehatan * dok pribadi

Pernah merasa ada yang tidak beres dengan kondisi psikis sendiri tapi takut ke psikolog karena stigma negatif yang kadung terbentuk di masyarakat (takut dicap gila, dianggap aib, perlu di-ruqyah, dll)? Atau sudah punya keberanian menghadapi psikolog/psikiater, tapi ngeri duluan dengan tarifnya?

Kalau pernah, Anda tidak sendirian. Masih banyak kok masyarakat kita yang masih menyepelekan kesehatan mental sendiri. Masih menganggap kalau gangguan-gangguan yang timbul itu bisa sembuh dengan sendirinya. Padahal, yang kerap terjadi malah makin parah. Baru mencari pertolongan ke profesional saat sudah mencapai tahap kronis dan sulit disembuhkan.

Saya dulu juga begitu. Saya sering merasa ada yang tidak beres dengan kondisi psikis, namun lebih memilih untuk mengabaikan. Sampai suatu ketika, gangguan itu menjadi tak tertahankan lagi. 

Berawal dari kesedihan teramat sangat pasca-meninggalnya papa akhir tahun lalu. Saya tahu ada yang aneh dan menimbulkan rasa amat tidak nyaman dalam diri yang sulit dijelaskan. Awalnya saya anggap normal, karena masih terhitung suasana berkabung. Saya menganggap sedih yang dirasa atau rasa malas ekstrem dan tidak ingin melakukan apapun itu adalah suatu kondisi wajar untuk seseorang yang baru kehilangan orang terkasihnya. 

 Namun ketika kondisi itu tidak berubah membaik selama dua bulan penuh dan saya malah kian terpuruk meski sudah melakukan segala cara untuk memulihkan diri dari suasana suram di hati (termasuk mempertinggi intensitas ibadah dan sepenuhnya bersandar ke Tuhan), saya tahu kalau diri saya sudah mencapai batas menanggungnya. Saya butuh pertolongan sebelum segalanya terlambat. Dalam hal ini, saya langsung berpikir tentang tenaga profesional (psikolog atau psikiater) yang  pastinya lebih berkompeten mengurusi kondisi psikis seseorang.

Saya mulai mencari informasi terkait layanan kejiwaan di kota saya, Palembang. Termasuk mengorek info dari beberapa teman yang rutin mengunjungi psikolog atau psikiater. Informasi yang saya kumpulkan, kisaran biaya yang diperlukan untuk satu kali konsultasi antara Rp 150-400 ribu, tergantung klinik dan dokternya. Belum termasuk biaya obat atau jenis treatment tambahan tergantung diagnosa (dan umumnya akan lebih mahal dari tarif konsultasi). Harga yang cukup bikin penulis freelance yang baru kehilangan ayah seperti saya berkeringat dingin. Ah, betapa mahalnya harga kesehatan itu.

Saat iseng googling, saya baru tahu jika layanan BPJS Kesehatan rupanya juga meng-cover penyakit mental. Wah, kabar baik ini. Kebetulan saya pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan sudah berpengalaman menggunakan saat sakit fisik. Namun untuk sakit mental, saya belum pernah mencoba sebelumnya.

Ternyata prosedurnya tidak terlalu berbeda. Yang perlu saya lakukan adalah memastikan faskes tingkat 1 saya bisa memberikan layanan kejiwaan, dalam hal ini perlu adanya tenaga psikolog atau psikiater di faskes 1 tersebut. Namun jika faskes 1 ternyata tidak atau belum mampu menyediakan layanan ini, maka saya harus menemui psikolog terdekat terlebih dahulu (biaya pribadi) untuk meminta surat rujukan ke rumah sakit rekanan BPJS yang memiliki layanan kejiwaan. Solusi lain, mengajukan permintaan pindah ke faskes tingkat 1 yang sudah menyediakan layanan kejiwaan. Bisa? Bisa! (Silakan tanya Mbah Google untuk tahu syarat dan prosedur pindah faskes ya)

Nah, berhubung faskes tingkat 1 saya sudah menyediakan layanan ini, saya bisa langsung memulai sesi dengan psikolognya. Prosedurnya standar saja sih, mengambil nomor antrean, lalu mendaftar. Siapkan fotocopy KTP dan kartu BPJS. Biasanya diminta petugas. Oh iya, bawa juga aslinya. Setelah mendaftar, tinggal tunggu deh.

Oh iya, sebelum masuk ruangan, terlebih dahulu saya diminta mengisi sejumlah quesioner (maaf saya tidak tahu namanya, tapi mirip seperti kalau kita ikut psikotes saat mau melamar pekerjaan, namun variasi "soal"nya berbeda). Psikolognya lalu mengajak ngobrol, mayoritasnya untuk mengkonfirmasi jawaban-jawaban saya di kertas kuisioner itu.

Kemudian, saya diberitahu kalau kondisi psikis ternyata lumayan berat sehingga perlu dirujuk ke psikiater. Well, tidak semua gangguan kejiwaan perlu ditangani oleh psikiater. Untuk kondisi ringan sampai sedang, biasanya cukup dengan penanganan konseling dengan psikolog. Tapi rupanya  kondisi saya berat, jadi mau tidak mau harus dirujuk ke psikiater. Saya diminta memilih rumah sakit tujuan rujukan dari beberapa pilihan yang tersedia. Saya pilih yang terdekat. Sebuah rumah sakit jiwa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun