Tak ada ruang bernama "kasihan" untuk penyandang ADHD. Apalagi permakluman.
Sebelum membahas ini lebih jauh, izinkan saya menjelaskan sedikit soal ADHD. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas adalah sebuah gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya menjadi hiperaktif, impulsif, serta sulit memusatkan perhatian.
Saya divonis ADHD di usia 27 tahun. Amat terlambat mengingat kelainan ini seharusnya sudah bisa diidentifikasi sejak usia kanak-kanak seperti halnya autisme. Sedikit menyesali keterlambatan ini, namun sangat bersyukur karena semua "keanehan" dalam diri akhirnya punya jawaban. Yah, saya lega. Ternyata saya tidak se-"anak setan" itu. Saya "cuma" ADHD.
Ketidak-seimbangan cairan dalam otak dan kinerja otak yang berbeda dengan manusia normal, membuat penyandang ADHD memiliki tiga gejala utama seperti berikutÂ
1.Hiperaktif
Tidak bisa diam, pecicilan, sulit duduk tenang, senang berlari atau memanjat sesuatu, menggeliat, mudah bosan, dan selalu terlihat gelisah.Â
2. Inattention
Tidak (atau bermasalah pada) perhatian. Sulit fokus, tampak tidak mendengar saat orang lain berbicara, perhatian yang sangat mudah teralihkan, sering melakukan kesalahan karena kurang hati-hati, sulit menyelesaikan tugas, sering lupa dan kehilangan sesuatu, sering mengigau bahkan berjalan saat tidur.
3. Impulsif
Bertindak tanpa berpikir (spontan). Sulit menunggu giliran, sering menginterupsi orang lain, berbicara/menjawab pertanyaan sebelum diberi kesempatan, bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya (mis : berlari di tengah acara formal, mengejar sesuatu yang berbahaya, dll).
Sebelum tahu bahwa saya ini penyandang ADHD, saya selalu bingung kenapa terus-terusan membantah orang lain meski tahu hal itu tidak sopan. Saya lelah terus berdebat dengan siapa saja, meski tahu tidak ada gunanya. Saya tidak berhenti menyesal dan menyalahkan diri sendiri karena siklus membuat orang lain terluka akibat ketidaksabaran saya terus berulang sepanjang hidup.