Mohon tunggu...
Arai Jember
Arai Jember Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Katakan Dengan Tulisan Jika Tak Sanggup Berlisan

Menulis itu investasi. Setiap kebenaran tulisan adalah tanaman kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agar Pedofilia Tidak Lagi Ada

15 April 2021   12:53 Diperbarui: 15 April 2021   13:04 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: halosehat.com

Pedofilia adalah kelainan psikoseksual, di mana orang dewasa atau remaja memiliki preferensi seksual terhadap anak-anak praremaja. Gangguan ini juga dianggap sebagai parafilia, yang adalah sekelompok gangguan yang didefinisikan sebagai aktivitas seksual yang abnormal. [1]

Tak hanya di luar negeri, pedofilia pun pernah dijumpai di dalam negeri. Tercatat sejumlah kasus pernah mengemuka ( lihat referensi no 2). Terbaru, pedofilia bergerak ke daerah. Seorang pelaku pedofilia ditangkap Satreskrim Polres Blitar Kota. Di hadapan polisi kakek 57 tahun itu mengaku telah melakukan pencabulan terhadap 6 orang anak. [3]

Sungguh disayangkan, orang dewasa yang ghalibnya memberikan perlindungan, rasa aman dan nyaman bagi anak-anak justru berbuat tidak benar. Apalagi bila pedofil memiliki penampakan baik. Maka, wajar bila ada yang menilai para pedofil memiliki gangguan psikoseksual hingga bisa berbuat menyimpang. 

Ada beberapa faktor yang dinilai menjadi pemicu kemunculan pedofilia, di antaranya:

1. Konsep pemahaman terhadap naluri biologis yang kurang tepat. Pemahaman seperti ini bisa diinisiasi dari informasi mengenai naluri biologis yang kurang tepat juga. Yang tidak menjelaskan dengan detail apa, kapan, bagaimana, dan seperti apa penyaluran naluri itu secara benar dan legal (bukan maksiat). 

Informasi yang disampaikan bisa jadi juga tidak disertai penjelasan bahwa sebenarnya setiap manusia punya naluri yang sama. Yang ianya hanya akan muncul jika ada pemicunya. Yang bila dijauhkan dari pemicunya, bila tidak dilampiaskan, yakni sekedar dialihkan pada hal lain, sebenarnya tidak membawa bahaya bagi tubuhnya.

Jikalau alasan anatomi atau fisiologi pedofil yang dijadikan alibi penyimpangan, maka sepertinya itu juga kurang tepat. Karena keberadaan iman dan ketaatan pada ajaran agama masih bisa menjadi rem bagi potensi kebablasan perilaku akibat kekeliruan pemahaman. Hanya saja, saat ini iman dan ketaatan pada agama menjadi benda mahal, jarang dimiliki. Pasalnya sekularisme telah menjauhkan pengaruh agama dari kehidupan sehari-hari. Sehingga seseorang bisa jadi taat dan tunduk saat ibadah ritual, tapi menjadi liar bila sudah tak di lingkungan peribadatan. 

2. Konsumsi tayangan media yang tidak sehat, yang menyumbang aktivasi perilaku menyimpang. Sebagaimana diketahui, bahwa pornografi dan pornoaksi menjadi bumerang dalam kemudahan akses media. Seorang pemegang gadget kadang tak bisa memilih konten iklan yang tetiba menyela aktivitas selancar nya di dunia maya. Bila nilai iman dan takwa tidak ada, maka apa benteng bagi naluri yang terlanjur ke-triggered oleh tayangan salah? 

Apalagi komunitas pelaku penyimpangan bisa saja memanfaatkan aplikasi media sosial untuk saling berkomunikasi di antara mereka. Sehingga terhubungnya mereka dalam satu jaringan mungkin saja menyebabkan adanya perasaan bahwa apa yang mereka perbuat adalah biasa, karena banyak temannya. 

3. Keadaan lingkungan yang kurang kondusif. Baik karena trauma mereka di masa tumbuh kembang atau minimnya kepedulian lingkungan yang ditempati dari aktivitas amar makruf. Banyak anggota masyarakat, namun kurang peduli pada keadaan sekelilingnya. Akibatnya bisa saja penyimpangan terjadi karena tidak diingatkan atau pelaku tidak mempan diingatkan, hingga akhirnya diacuhkan, tidak dipedulikan. Rasa denial di lingkungan ini yang kelak memunculkan keinginan mencapai bahagia sendiri meski dengan cara salah. 

Dengan demikian, perbaikan pada masing-masing faktor pemicu di atas diperlukan sebagai bagian upaya preventif. Yakni penguatan pemahaman yang benar dengan penancapan keimanan, penghilangan konten pemicu penyimpangan, sekaligus pembiasaan lebih untuk saling tegas mengingatkan hingga penyimpangan bisa dihentikan. 

Hanya saja, apa yang sudah disebutkan di atas tidaklah ringan. Individu beriman pun akan tertatih bila berjalan sendirian melawan arus yang tidak dibenarkan. Gempuran media, yang saat ini dari mana saja bisa diakses, akan menjadi badai besar bila kendali filter tidak diaktifkan. Dan tombol aktivasinya tidak dipegang individu ataupun masyarakat. Masyarakat yang bertindak mengingatkan pun bisa maju mundur bila tidak ada payung hukum yang menaungi tindakan. 

Pasalnya kebebasan berekspresi dan bertingkah laku adalah bagian yang diakui. Apalagi bila peringatan yang diberikan oleh masyarakat dianggap tidak menyenangkan, maka bisa saja jika mau dijadikan delik aduan. Artinya serba terbatas dan repot bila tidak ditopang penuh oleh perlindungan institusi yang lebih besar, yang menjadikan aturan Allah sebagai landasan mengambil tindakan. 

Oleh karenanya campur tangan negara di sini adalah kunci vital. Sebab, hanya negaralah yang punya kelengkapan komponen untuk memberikan hukuman yang benar-benar menjerakan bagi para pedofil. Negara juga yang memberikan suasana dan dukungan iman dan takwa bagi individu dan masyarakat, agar bersih dari berbagai bentuk penyimpangan. Sehingga kolaborasi perbaikan dari semua elemen inilah yang akhirnya akan mengenyahkan aksi pedofilia, sampai benar-benar tiada. []

Referensi:

1. National Geographic

2. Tempo

3. Kompas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun