Mohon tunggu...
Arai Jember
Arai Jember Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Katakan Dengan Tulisan Jika Tak Sanggup Berlisan

Menulis itu investasi. Setiap kebenaran tulisan adalah tanaman kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adakah Penceramah yang Radikal?

3 Oktober 2020   23:06 Diperbarui: 3 Oktober 2020   23:09 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Radikal dan sejenisnya rupanya masih menjadi frase seksi untuk ditarik ke berbagai ranah opini. Kendati maknanya sebenarnya bernada netral, tapi bisa menjadi bengkok lantaran framing yang diberikan.

Yang disayangkan adalah Radikal diderivatkan pada radikalisme lalu disandingkan dengan frase lain. Terbaru adalah diruntunkan dengan kata dia, penceramah. Seolah ada penceramah yang terpapar paham radikalisme, sehingga ada program pelurusan dengan istilah deradikalisasi. Fisiknya adalah diwacanakan perlunya ada jaminan bahwa penceramah tersebut bebas dari radikalisme dengan bukti adanya sertifikat.

Tanggapan bergulir di masyarakat, terutama dari kalangan kaum Muslim. Di antara mereka bersuara tidak sepakat dengan wacananya sertifikasi.  

"Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut," kata Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi yang tertuang dalam Pernyataan Sikap MUI Nomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020 yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (8/9). [1]

Memang menjadi pertanyaan, apakah benar ada penceramah yang radikal?

Penceramah hakikatnya adalah orang yang menyampaikan ajaran Islam apa adanya. Islam tentu bukan sekadar agama ritual, moral dan spiritual belaka. Islam pun mengatur ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dll. Alhasil, Islam adalah ajaran dan tatacara hidup yang lengkap dan paripurna (Lihat: TQS al-Maidah [5]: 3).

Karena itu merupakan kewajiban para da'i untuk mengajak umat agar mengamalkan seluruh ajaran Islam. Para da'i harus mendorong umat untuk mengamalkan Islam secara total. Tidak setengah-setengah. Tak hanya mengamalkan ajaran Islam seperti shalat, shaum, zakat dan haji saja. Namun juga mengamalkan ajaran Islam yang lain yang terkait muamalah, 'uqubat (sanksi hukum Islam), dll. Sebabnya, memang demikian yang Allah SWT perintahkan sebagaimana termaktub dalam al-Baqarah [2]: 208.

Terkait ayat tersebut, Syaikh Abu Bakar al-Jazairi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kata "kaffat[an]" bermakna "jami'[an]". Tidak boleh sedikitpun syariah dan hukum Islam itu ditinggalkan (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, 1/97).

Lebih lanjut beliau menegaskan:

Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang Mukmin dengan memerintah mereka untuk masuk Islam secara paripurna (total). Artinya, mereka tidak boleh memilah-milah dan memilih-milih syariah dan hukum-hukumnya. Apa saja yang sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka terima dan mereka amalkan. Lalu apa saja yang tidak sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka tolak, mereka tinggalkan dan mereka campakkan. Justru wajib atas mereka menerima seluruh syariah dan hukum Islam (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, 1/97). [2]

Karena itulah para da'i yang menyampaikan semua ajaran Islam tak layak dicap "radikal" dalam makna yang negatif. Lebih tidak layak lagi jika dilakukan upaya "deradikalisasi" terhadap mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun