Mohon tunggu...
Aradea Rofixs
Aradea Rofixs Mohon Tunggu... wiraswasta -

Aktifitas: wirasuasta : suka membaca. Suka berimajenasi. Penggiat sastra komunitas tangan bicara pekalongan. : wira usaha, suka seni. Kesenian, filsafat, puisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerajaan Kediri dan Epik kesusastraan(3)

28 Mei 2011   13:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 2979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tak ada gading yang tak retak" mungkin pepatah itu yang paling tepat untuk melukiskan cerita Kerajaan Kahuripan. Kemashuran serta kejayaan dari kerajaan yang didirikan oleh Airlangga --- di tanah Kahuripan atau Sidoarjo yang kemudian dipinahkan ke Daha atau Dahanapura --- itu, konon mampu menaklukkan dan menguasai hampir semua kerajaan-kerajaan yang ada disepanjang pulau Jawa, Bali, Sriwijaya dan bahkan sebagaian daerah Sumatra. Pun akhirnya harus runtuh dari dalam. (Sebuah pelajaran yang sangat berharga tentunya buat bangsa ini. Bangsa indonesia yang mashur dan hampir runtuh karena digerogoti koruptor dari dalam) -- Betapa sangat ironis, kerajaan Kahuripan runtuh bukan karena serangan dari luar. Akan tetapi justru dari dalam kerajaan itu sendiri.

Semua berawal dari tahun 1042m. Ketika Kerajaan itu di bagi menjadi dua bagian. Dikarenakan, putra-putra Airlangga yang semuanya sama, minta tahta. Maka sebagai Orang Tua yang bijak dan sekaligus seorang Raja yang adil maka dibagilah kerajaan tersebut menjadi dua bagian: Ibu kota Dahanapura atau Ibukota baru diberikan pada Sri Samarawijaya sedangkan Ibu Kota lama, Kahuripan yang ada di Sidoharjo diberikan kepada putranya yang lainnya yakni Mapanji Garasekan. Dan, pada perkembangan selanjutnya kota praja di Daha tersebut berubah menjadi kerajaan "Panjalu" adapun Kahuripan atau kota lama yang diberikan pada Mapanji Garasekan menjadi Kerajaan "Jenggala".

Menurut Prasasti "Turun Hyang 1044m" semenjak kerajaan tersebut dibagi menjadi dua bagian, Perang diantara keduanya pun tak terelakkan bahkan terus berkobar tak pernah putus. Mungkin karena situasi perang itulah, yang membuat sangat sedikit Prasasti yang tercipta pada tahun-tahun itu dan tak ditemukan jejak tertulisnya. Konon perang tersebut dipicu oleh perebutan panji-panji atau simbol Kerajaan yang masih terus digunakan oleh Mapanji Garasekan. Adalah "Garudha Muka" simbol yang pernah dipakai Airlangga. Bahkan dalam prasasti Malenga ditahun 1052m yang dibuat Raja Garasekan Jenggala juga pernah menguasai Panjalu.
Adapun Raja-raja Jenggala setelah Garasekan adalah
Mapanji Alanjung 1052-1059
dan kemudian Sri Samarotsaha -- yang berkuasa dari tahun 1059 dan kapan berakhirnya tidak jelas.

Suasana Perang yang terus menerus juga membuat Kerajaan Panjalu-red sama; minimnya akan catatan tertulis. Hanya setelah berselang waktu beberapa warsa kemudian -- Ditemukan prasasti "Sirah Keting yang bertahun 1104m" -- yang menjelaskan bahwa: di Panjalu pernah ada Raja bernama Sri Jayawarsa. Tapi keterangan ini pun belum bisa dipastikan. Karena tak ada kesimpulan yang pasti; apakah Jayawarsa adalah anak dari Sri Samarawijaya atau bukan. Kemudian Setelah Jaya warsa turun Tahta, Raja-raja berikutnya, baru mulai jelas tertulis dalam berbagai prasasti. Termasuk ketika ia digantikan oleh putranya Sri Bameswara (hal ini ditegaskan dalam Prasasti "Pandelengan 1117m" dan "Prasasti Tangkilan 1130m") disini pun dijelaskan pada masa itu Sri Bameswara memindahkan pusat kota Dahanapura ke Kediri hinga nama kerajaan Panjalu pun lambat laun lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri.
Puncak masa kejayaan Kediri adalah ketika Kediri dipimpin oleh putra Sri Bameswara yakni Sri Jayabaya 1135-1159m yang terkenal dengan "Serat Jongko Joyoboyo-nya" waktu itu Jayabaya mampu mengalahkan Jenggala dan bahkan kembali bisa mengalahkan Sriwijaya. Kemenangan Panjalu atas Jenggala tersebut tertulis dalam Prasasti Ngatan 1135m yang berbunyi "Panjalu Jayati" yang artinya Panjalu menang. Bahkan Jayabaya meminta Mpu Sedha untuk menuliskan kiasan atas kisahnya dalam Kakawin Bharatayhuda -- kemenangan Pandawa atas Korawa -- Sebagai simbol kemenangan Panjalu atas Jenggala. Yang diturun dari kitab Mahabarata dari India. Dan, kemudian diapun kembali mengutus Mpu Panuluh anaknya Mpu Sedha untuk melanjutkan Kitab Bharatayhuda -- babak selanjutnya -- tersebut dengan memasukkan namanya sebagai salah satu Tokoh keturunan pandawa yakni "Jayabaya" cucu Parikesit dan kakek Angling Darma. Sesungguhnya hal peng-Kias-an serupa juga pernah dilakukan oleh Airlangga pada masa Kahuripan yang dituang dalam kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. kitab ini meng-kias-kan Airlangga sebagai Tokoh pandawa yaitu Harjuna yang harus melanglang buana sebelum akhirnya berkuasa menjadi Raja Agung.
Karena memang, pada Jaman Jayabaya ini kesusastraan meningkat sangat pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya naskah-naskah kuno yang dilahirkan pada masanya juga masa sebelum dan sesudahnya. Tersebut antara lain: Hariwangsa dan Gatotkacasraya karya Mpu panuluh. Samaradhana karya Mpu Darmajha. sumanasantaka karya Mpu Mohanaguna. kresnayana karya Mpu Trighuna. Kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tanakung Dan masih banyak yang lainnya. Termasuk kitab catatan kronik Cina yang berjudul Ling-Mai-Tai-Ta, karya Cho-Ku-Fei tahun 1178m. Dan, kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis Chau-Ju-Khua pada 1225m.
Bahkan dalam berbagai macam kisah, baik yang lisan ataupun tulisan disebutkan jika Raja Jayabaya juga -- konon memeluk agama Islam -- setelah datang utusan dari negri sekitar Jazirah Arab yakni negri Rum. Yang bernama Maulana Ali Syamsudin. Bahkan ada yang berpendapat jika Kakawin "Jongko Joyoboyo" adalah karangan "Maolana Ngali sjamsujen" atau "Maulana ali Syamsudin" yang kitab aslinya adalah Kitab Musarar --- yang kemudian pernah disadur ulang baik oleh Sunan Giri ataupun Ronggo Warsito.

Adapun daftar para Raja setelah Jayabaya antara lain:
-- Sarweswara 1159-1169
-- Kameswara 1169-1185
-- Kertajaya 1185-1222
pada masa kepemimpinan Kertajaya kerajaan Kediri sangat Lemah. Apalagi, gara-gara kebijakannya yang tidak relevan yakni menyuruh semua rakyat juga semua brahmana menyembah dirinya layaknya seorang wisnu dan hal ini menjadikan sebagian Brahmana tidak lagi menganggap: keputusan Raja adalah mutlak dan menjadi hukum yang tak bisa di tentang. Para Brahmana menolak. Bahkan Kertajaya pernah sesumbar waktu hendak diserang pasukan Ken Arok "kalau dia tak takut sama sekali--selama yang menyerang negaranya itu masih manusia bukan Syiwa" Makanya disebutkan dalam Negarakertagama "Ketika Ken Arok Hendak menyerang kediri -- atas saran para Brahmana -- ia menamakan dirinya sebagai Syiwa"

Peristiwa penentangan oleh para Brahmana tersebut dibarengi dengan kejadian, bahwa di Tumapel telah terjadi Kudeta berdarah dan mengukuhkan Ken Arok Sebagai Akuwu (atau jaman sekarang setara Camat) baru. Dan, berniat membebaskan Tumapel dari cengraman kekuasaan Kediri. Konon para Brahmana dari Kediri ini melakukan eksodus dan minta perlindungan pada Ken Arok. Dan, oleh Ken Arok momen ini dapat di manfaatkan sebaik-baiknya.

KEN AROK ADALAH RAJA BERDARAH JAWA ASLI
Dalam serat Pararaton diterangkan jika Ken Arok adalah seorang raja asli berdarah Jawa yang notabene berasal dari kasta sudra.
Kisah Raja satu ini menjadi simbol sebuah perjuangan besar yang tak kenal menyerah. Dan, akhirnya membuahkan hasil dimana dirinya bisa menjadi sebagai Raja Tumapel dan memperistri Ken Dedes istri dari Tunggul ametung yang dibunuhnya. Dan, dalam kitab pararaton juga disebutkan jika Ken Arok naik tahta pada tahun 1222m dan bergelar Sri Rajasah Amurwabumi dengan beribu kota di Kutaraja, (Malang) yang kemudian dalam perkembangannya lebih dikenal dengan nama Singasari.

---: KUTUKAN DAN DOA :---
Sebenarnya ada cerita menarik dalam kisah naiknya tahta Ken Arok ini. Dan, saya menyebutnya dengan sebutan "Kutukan dan Doa".
Dimana konon tokoh antagonis Ken Arok ini pernah mendapat kutukan dari Mpu Gandring, berkaitan dengan keris pesanannya yang belum jadi itu---justru untuk membunuh si-Mpunya sendiri. Guna menghilangkan jejak bahwa keris itu -- yang nantinya akan digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung tidak ada seorang pun yang akan tahu -- jika itu miliknya.
Al-hasil, setelah Ken Arok membunuh Mpu tersebut. Sang Mpu pun mengeluarkan kutukan "Kelak, bila waktunya tiba -- keris tersebut -- akan merenggut 7 keturunannya termasuk juga dirinya."
Di sisi lain. Juga doa dari orang tua Ken Dedes yakni Mpu Purwa -- seorang resi Bhuda -- yang konon sangat mumpuni. Dia meminta agar anaknya; Ken Dedes supaya kelak dikaruniai anak, dan semua anak yang ia lahirkan akan menjadi Raja-raja besar di tanah Jawa.
Dan al-hasil, doanya Mpu Purwa pun tercipta juga kutukan Mpu Gandring pada wangsa Rajasa yang tak kalah mengerikan.
Dan, jika akhirnya semua keturunannya saling membunuh, baik untuk alasan balas dendam ataupun untuk perebutan tahta. Adalah benar keduanya baik doa Mpu Purwa atau Kutukan Mpu Gandring "sama-sama tercipta"
Bahkan menurut Negarakertagama bahwa Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit pun adalah masih keturunan Ken Dedes.
(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun