"Perempuan itu kembalinya hanya ke dapur dan kasur saja," kata Emak
"Tapi perempuan harus pandai. Kalau tidak berpendidikan, bagaimana mengasuh dan mendidik anak?" bantahku.
"Nanti juga pinter sendiri. Seperti aku, meski tak sekolah, Â juga bisa mendidik kamu dan kakak kakakmu. Itu semua bisa karena pengalaman"
Emak memang kolot dan alot. Dari semua kakakku yang pertama sampai aku anak yang ke-7 tidak ada niatan untuk menyekolahkan sampai tinggi, paling banter hanya jenjang SMP. Dan aku tidak mau berakhir tragis, aku ngotot harus sekolah, minimal lulusan SMA, untung-untungan bisa sampai kuliah.Â
Aku lihat mbak dan mas masku, setelah lulus dari SMP langsung nikah, kemudian melanjutkan tradisi keluarga, pergi ke alas dan sawah. Bagi Emak, perempuan tugas utamanya adalah melayani suami dan merawat anak, jadi tak perlu sekolah. Daripada sekolah tinggi-tinggi, nanti kembalinya juga ke dapur. Buang buang duit.
"Itu lihat, anak Pak Raikan, Si Santi. Ia asalnya bangga anaknya masuk perguruan tinggi, eh pulang malah bawa aib bagi keluarga. Pak Raikan, malu pada tetangga dan sanak keluarga. Sekarang langsung mau dikawinkan. Aku tidak mau dipermalukan anakku seperti itu."
"Tapi itu kan tidak salah sekolahnya, anaknya sendiri memang pergaulannya bebas, tidak mampu menjaga diri," Emak tak menghiraukan jawabanku.
Berkali-kali saya jelaskan, Emak masih ngotot tidak mau. Bapak juga tidak mendukung. Meski Bapak sebagai kepala keluarga, segala keputusan ada di tangan Emak.
Ini semua karena Bapak, datang ke rumah ini, tidak bermodal apa-apa. Rumah, sapi, tegal alas dan sawah, semua milik Emak, warisan dari orang tuanya.
Zaman sudah berubah, tapi pola pikir Emak tak kunjung berubah. Ia masih memakai model lama, seperti yang diajarkan orang tuannya. Itu anggapan terbaik baginya.
"Kalau kamu ngotot mau lanjut sekolah. Sana! Cari biaya sendiri!"