Namaku Fatimah. Orang memanggilku wak, Wak Ma. Sampai umur hampir kepala enam, mereka tetap memanggilku dengan panggilan yang sama. Bahkan anak-anak yang seusia cucuku, mereka semua memanggil wak. Bapak Ibunya memangil wak, dan sekarang anak mereka juga memanggil wak. Akhirnya namaku lebih dikenal wak, daripada nama asliku sendiri. Fatimah.
Anakku sudah banyak. Sukses. Pekerjaan mapan. Sudah punya rumah sendiri-sendiri. Biasanya menjelang Hari Raya, mereka reuni di rumahku. Rame. Membawa anak-anaknya. Di saat itu, aku sudah merasa benar-benar telah tua. Aku tinggal dengan anakku yang bungsu. Tidak ada undian. Tidak ada kesepakatan siapa yang akan merawatku, diantara anak-anaku itu. Berjalan apa adanya. Sampai tibalah si bungsu menikah. Dia belum punya rumah. Sehingga aku dan dia dalam satu rumah.
Mantu. Seperti mantuku yang lainnya. Istri anakku. Kini Ia selalu berada di dekatku. Hidup dalam satu rumah. Semula aku berharap banyak pada mantuku ini. Mantu sebagai pengganti anak-anakku perempuan, yang sudah dibawa oleh suaminya. Membantu pekerjaanku, bersih-bersih, dan memasak. Aku ingin hidup bahagia. Meski dengan mantuku yang baru ini. Karena tidak mungkin lagi, aku berkumpul dengan anakku. Si bungsu. Ia sibuk di kantor. Berangkat pagi, pulang sore. Praktis yang di rumah, hanya aku dan mantuku.
"Nduk, tolong ambilkan sapu itu," pintaku pada mantuku.
"Ini mak,"Â
Sapu itu diserahkan padaku. Padahal aku berharap, dia bertanya padaku : Bagaimana kalau saya yang menyapu? Terpaksa, saya menyapu sendiri. Menyapu rumahku. Saya melihatnya, dia pergi ke atas, lantai dua. Saya memaklumi. Ia mantu baru.
Setahun, dua tahun berlalu. Keadaan tetap tidak berubah. Dia, mantuku. Tetap menjadi orang lain dalam rumahku. Dia belum bisa menjadi bagian dari keluargaku, pendek kata anakku, eh pengganti anakku. Tetangga sudah berkali-kali bertanya padaku. Dimana mantumu? Sedang apa? Kok jarang kumpul-kumpul? Kok saya tidak pernah melihatnya ke pasar? Sakitkah? Mudikkah?. Tapi, semua pertanyaan itu, selalu aku jawab dengan memberikan kehormatan pada mantuku.
Memang dia yang bayar listrik, tentu saja uang dari anakku. Sehingga seolah-olah aku menjadi orang lain dalam rumahku sendiri.
"Nduk tolong bantu emak, untuk jaga toko," pintaku untuk yang kesekian kalinya.
"Maaf mak, masih sibuk," jawabnya.Â
Sejak saat itu saat tidak pernah menyuruhnya lagi. Saya tidak pernah memintanya lagi. Tidak pernah menyapanya. Tidak pernah menegurnya. Dan bahkan tidak pernah, eh jarang berkomunikasi dengannya. Memasak sendiri, semuanya terpisah. Lauk sendiri, Nasi sendiri, jajan-jajan sendiri. Semuanya serba sendiri. Anakku banyak tapi aku hidup sendiri. Aku punya mantu. Tapi aku hidup sendiriÂ