Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jalan Menuju Revolusi (1)

17 Desember 2017   10:47 Diperbarui: 17 Desember 2017   11:06 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sekitar setengah juta penduduk Ibu Kota Nusantara turun ke jalan menyuarakan aspirasinya. Dari slogan yang terangkat ke langit orang bisa mengetahui seperti apa benak demonstran itu: "Mampuslah Demokrasi", "Kapitalis Bajingan, "Usir Amerika". Setno Aji Abdullah adalah Wakil kami dan Mahmud Malik adalah pemimpin kami", Kemerdekaan, Stabilitas, dan Kemakmuran. Ini Demonstrasi terbesar yang pernah ada dalam sejarah Nusantara dan  Amerika meresponnya dengan mengerahkan semua kekuatan militernya.

Tank, Helikopter tempur, dan senapan mesin menyalak di mana-mana. Protes ini dikenal sebagai Revolusi Phoenix pada bulan april dan reperasi sejarah setelahnya. Menelan ribuan korban jiwa dan memperbesar gaung kehadiran Malik. Pemogokan Akbar menyusul pada Mei yang ditandai sebagai hari Buruh Nasional. Elit Kapitalis pun harus menerima kenyataan hidup bergelap-gelapan di istana mewahnya setelah pegawai jawatan listrik ikut mogok kerja. Ekonomi pun Koleps.

Pergolakan politik yang terjadi 1 tahun silam berhasil mengubah seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari Konstitusi hingga gaya hidup, semua itu di ubah melalui cara-cara yang paling Konservatif. Tak ada lagi nalar kritis di masayarakat, kebebasan untuk kesekian kalinya terpaksa menjadi momok bagi oposisi. Mau tidak mau mereka harus menuruti apa kata Pemerintah, siapa yang melawan akan di libas.

Meski Tirani menghiasi negeri, bangsa ini terbukti mampu menyalakkan akslerasinya menuju negara maju. Walaupun mendapat kritikan hingga blokade dari negara-negara kapitalis. Negara berjuluk Area Khusus Restorasi ini, telah mampu memberi nafkah bagi masyarakatnya melalui sistem Agraira.

Tentram namun legam, kondisi ini semakin diperparah semenjak Presiden Malik menetapkan UU Stabilitas Informasi. Melalui undang-undang tersebut, kebebasan informasi yang tidak bertanggungjawab sebelum revolusi mampu diminimalisir bahkan di tumpas hingga ke akar-akarnya. Ratusan Jurnalis, Netizen, dan Warganet ditangkap lalu diadili. Ada dari mereka yang di hukum mati, ada pula yang diasingkan ke tempat terpencil, kebebasan tak bertanggung jawab yang mereka geluti patut di rehabilitasi oleh lembaga permasyarakatan, mau tidak mau mereka mendapat sanksi sosial, lalu di cap pengidap Dekadensi Pemikiran.

***

Sebelum Revolusi, di sebuah kawasan Hydrophonix yang bersesakan dengan apartemen penduduk. Tinggal seorang Jurnalis Senior dari Media Massa Cynbeee, namanya Selim Sujadtmiko. Selim menikah dengan seorang istri lokal, tapi memiliki profesi yang berbeda. Namanya Vina, seorang Petani berdasi yang terbilang sukses menjalani karirnya.

Orang-orang mengira Selim seperti Jurnalis kebanyakan. Seorang wartawan yang identik akan kemewahan. Hal ini dikarenakan Tramkepercayan publik anjlok drastis setelah 80% media massa di negara tersebut mulai dikuasai oleh pemilik modal-utamanya mereka berasal dari Amerika Serikat. Keputusan redaksi yang memilih berpihak pada pengusaha daripada rakyat tak lepas dari sumber pendapatan utama media saat itu. Mungkin lebih dikarenakan keserakahan kaum kapitalis yang ingin memporak-porandakan toleransi bangsa melalui sentimen golongan dan isu SARA di Media Massa.

Sekali lagi, Selim Sujatmiko bukanlah Wartawan Borjuis. Melainkan ia hanya orang dewasa yang susunan pikiran, dan idealis jiwanya sepintas mengingatkan orang pada Jurnalis Independen, Mochtar Lubis, dalam sejarah Indonesia. Pada suatu hari di bulan Mei, saat butir-butir air berebut tempat memoles ranting daun cemara di luar sana. Selim memimpin jalannya rapat dewan pers dengan keseriusan lebih dari biasanya.

Sehari itu, ia dibungkam oleh belasan orang rekannya di ruangan gedung berbaju kaca. Selim berulang kali di paksa untuk mengikuti orang di balik layar media-media saat itu: para pemilik modal. Tentu Pusing bukan kepayang, Selim harus memutar otak beribu kali, menimbang, dan membuat pilihan. Namun tetap ia tidak setuju atas usulan rekannya. Kemudian Selim beranjak dari kursinya menuju lift berlapis emas. Di perjalanan, jam tangan Selim menunjukkan jarum panjang ke 5 (lima) menandakan dua jam sebelum waktu kelahiran anak pertamanya: Cassie.

Keadaan itu membuat hening beberapa saat sebelum kembali dibuat resah oleh usulan ke-15 rekannya yang tak bisa diterima oleh akal. Selim merasa mereka gila, tidak waras, dan tentu.. pemikiran mereka seperti makanan yang tak bisa dikunyah, tak bisa dipakai membuka drop botol, apalagi dijadikan pendongkrak selilit. Mereka hanya memikirkan perutnya sendiri tanpa tahu tindakan apa yang telah mereka lakukan. Tentu Selim tak menginginkan rekannya berakhir seperti Kambing yang diperanak-pinak, dikerdilkan dalam sangkar, hingga wajahnya legam menghitam sehingga orang-orang pun sulit menandakan watak Kemanusiaan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun