Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menulis Untuk Sang Pendidik

16 Desember 2017   19:06 Diperbarui: 16 Desember 2017   19:16 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya (alm). Yana Ekana, Selama mengajar, dibalik wataknya yang keras dalam mendidik, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan bersahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantangan. Di tengah persoalan bangsa (sekarang) pendidikan moral mulai diabaikan sedikit demi sedikit, namun beliau tetap mempertahankan mode (mengajar) dengan gaya khasnya, ia akan naik pitam ketika ada mahasiswa yang menyelewengkan norma-norma sosial selama perkuliahan-sebab bagi beliau Etika dan moral jauh lebih mulia daripada kecerdasan Intelektual semata.

Sebagai dosen senior di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Lampung. Bukan lagi rahasia umum bila kesehariannya cukup sederhana. Penulis sering kali melihat beliau memakai kemeja yang itu-itu saja selama mengajar, sebagai pribadi yang sederhana menurut penulis ia selalu menyampaikan pesan-pesannya dengan tersirat. "cukupkan yang ada, jangan cari-cari yang tiada, pandai-pandailah mensyukuri nikmat."kicau beliau.

Selain kesederhanaan beliau, demi mempertahankan sikap, beliau tak pernah absen sebagai dosen (kecuali sakit). Berbagai cara ia tunjukkan meski fisiknya sedang sakit, namun jiwanya tidak, dari pukul 6.00 seingat penulis, beliau sudah ada di kampus dan tengah mempersiapkan materi kepada mahasiswanya. Semangat masa muda itulah yang mencerminkan ketangguhan yang tak dimiliki anak muda sekarang, dimana kita lebih banyak bermalas-malasan daripada berbuat sesuatu yang produktif.

Teladan kesederhanaan itu pula yang membuat sebagian mahasiswanya mampu berbenah dari keterbelakangan, menurut beliau keadaan susah tak perlu dijadikan hambatan untuk menjadi pemimpin kelak. Keterbiasaan bersusah payah sejak dini merupakan batu lompatan dalam mengawali karir. Yang pasti, elemen dasar dari itu semua ialah "kejujuran" bukan yang lain.

"Kamu Tidak LULUS,"ucap beliau. Berapa kali kejadian itu berulang, berkali-kali seakan sudah menjadi hal biasa menurut penulis. Tindakannya bukan tanpa sebab, melainkan ada sikap tidak sopan, sikap yang paling dibenci beliau-ketika ada mahasiswa yang terlambat malah masuk seenaknya, dan tak ada sikap malu sedikitpun. Beliau tak rela generasi ke depan berakhir seperti Koruptor yang pintar namun tak bermoral, pintar namun memperdayaai, pintar tapi berprilaku seperti hewan-bahkan lebih buruk daripada "udang" yang otaknya begitu kecil.

Sebagai dosen beliau menyadari bahwa kesopanan dan etika jauh lebih penting, dikarenakan saat ini ada banyak koruptor yang pupus rasa malunya, celingak-celinguk di depan wartawan, senyum di depan kamera dan mengaku dirinya sedang di dzolimi. Terkikisnya rasa malu dan kejujuran seakan terus menambah rasa sakit beliau, namun ia tetap tabah menjalani hari-harinya dengan semangat Pendidikan. Mental ini lah yang jarang penulis temui di kalangan para pendidik saat ini.

Di mata penulis, ia orang yang berpikiran jauh ke depan. Sewaktu bercengkrama, menjadi aktivis bukanlah satu-satunya langkah yang bisa menghasilkan orang-orang yang mampu mengubah negeri ini, "saya memahami, akivis sekarang bukan seperti di jaman saya tak ada lagi perjuangan yang benar-benar murni untuk rakyat, semua berbasis politis."kata Yana. Tapi pada suatu hari, dengan luwes beliau membekali cerita-cerita moril kepada penulis, "di masa mendatang negeri ini butuh pemimpin yang tak hanya cakap beretorika, bersuara dengan gemuruh melainkan butuh seorang yang berkualitas dari segi bobot yang di ucap dan di perbuat."pungkasnya.

Di kelas, penulis hanyalah mahasiswa biasa yang tak ada apa-apanya di mata beliau. Bahkan saat diberlansungkannya proses interaktif selama belajar mengajar, penulis sedikit kerepotan ketika hendak menyampaikan argumen, sehingga saya lebih banyak diam daripada bertutur di mata kuliahnya. Tapi Keterbelakangan ini tak membuat saya patah semangat, salah satu langkah yang saya bisa ialah membuat beliau melihat saya di ranah lain, yahh tak lain melalui media massa.

Mungkin hanya itu yang saya miliki, mengingat impian saya ialah menjadi penulis profesional. Brbagai cara telah dilakukan Siang-malam tak hentinya saya melumat habis satu per satu buku, menulis sana-sini, aktif di dunia jurnalistik (pers mahasiswa) hingga lembur sampai larut malam. Mungkin semua ini dikarenakan pesan beliau di embun pagi, "pemimpin sekarang seperti singa yang menindas rakyatnya, menteri seperti rubah yang licik, dan rakyat kecil tak ubah layaknya domba dipertenakan. Kalian harus menyadari itu sebab perubahan negeri ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang mau berusaha dan berkarya."tutur beliau ketika mengajar.

Penulis ingin seperti beliau, sang pendidik sejati, penulis ingin lebih berusaha se-giat mungkin malah pada keinginan besar untuk memperlihatkan karya-karya saya kepada beliau meski telah tiada. Tapi sebagai murid, penulis ingin mengamalkan apa yang telah diajarkannya selama ini. karena suatu saat insya allah atas kuasanya saya dapat menjadi penulis buku (bukan lagi artikel di media massa) yang produktif. Di mana buku-buku tadi akan bermanfaat untuk orang banyak.

Meski sebentar, seandainya bangku-bangku kuliah bisa bicara sungguh banyak kisah dan tutur katanya kepada saya, bangku-bangku itu akan lebih fasih berucap-daripada mahasiswanya yang dilapisi kesal dan resah dengan watak beliau yang keras. Maafkan saya pak.....

yana-5a350bb9f13344040a4f6cf3.jpg
yana-5a350bb9f13344040a4f6cf3.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun