Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bahaya Kebebasan Pers!

14 Desember 2017   13:44 Diperbarui: 14 Desember 2017   13:47 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Boleh jadi Warung Kopi menjadi tempat perbincangan hangat-warga menjelang Pilkada serentak yang akan diadakan bulan juni 2018 mendatang. Di sisi lain, para elit politik sedang menanti-nanti suntikan modal dari pihak korporasi. Kolusi transaksional yang mereka lakukan hampir melibatkan berbagai lapisan di masyarakat, mulai dari KPU, Bawaslu/Panwas, Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan Media Massa.

Kiat-kiat yang dipakai perusahaan multinasional itu benar-benar menggerogoti demokrasi sampai ke akar-akarnya sedemikian rupa sehingga demokrasi akhirnya mati. Senada dengan hal itu, demokrasi di lampung baru saja terobati setelah Fauji Heri, Ketua KPU Bandarlampung mendapat penghargaan sebagai penyelenggara Pemilihan Umum terbaik. Namun di sisi lain, berjalannya demokrasi di era postmodern sekarang masih menemui kendala, terutama di ranah Media Massa. Baru-baru ini Indeks Kebebasan Pers Provinsi Lampung anjlok seketika setelah tingkat intervensi elit politik begitu kuat di meja redaksi.

Selain itu, Berbagai kajian menegaskan bahwa selama ini masih ada persoalan mengenai integritas parpol serta profesionalitas dan independensi penyelenggara pemilu. Lagi-lagi harapan akan terwujudnya Pemilihan Umum yang Jurdil dan berintegritas belum bisa diimplementasikan dengan baik.

Menanggapi problematika tersebut, dengan mengesampingkan Intervensi Politik kini Media Massa khususnya Media Mainstream tengah siap menjaga objektivitas menjelang Pilkada dalam menagkal isu Sara yang berpotensi menganggu stabilitas. Banyak kalangan percaya, khususnya Aliansi Jurnalis Independen bahwa masyarakat lampung kini sudah cerdas  memilah-milah berita yang benar.

Namun intervensi partai politik tak boleh diabaikan begitu saja, tentu kita menyadari aspek krusial dari keberpihakan lembaga pers dilihat dari sejauh mana mereka mau membela kepentingan rakyat. Hal ini telah diupayakan dengan baik oleh para pendahulu, bila kita menengok sejarah peran Media Massa pada masa kemerdekaan.

Menciptakan budaya serupa tidaklah mudah, apalagi setelah puluhan tahun media gegap gempita di masa orde baru, beringas di era Reformasi, Loyo-lunglai pasca Reformasi. Bahkan jika para Jurnalis dari media Mainstream telah di didik secara profesional dan lulus sertifikasi berkas dari dewan pers, itu hanya berakhir percuma apabila sumber pendapatan media saat ini di dapat dari saham dan periklanan para Oligharki sosial, politik, ekonomi.

Media sebagai social of control tak lagi berfungsi dengan baik. Maka untuk mengatasi hal ini segenap masyarakat sipil harus siap mengawasi lembaga pers, agar bekerja secara proporsional, profesional, independen, dan berintegritas. Beberapa substansi yang menjadi fokus pengawasan, diantaranya proses pemberitaan dengan melakukan survei di antara berbagai media massa, membuat surat peringatan terbuka kepada lembaga pers, dan menerapkan sanksi sosial berupa cacian dan intimidasi apabila ada wartawan dari media yang terkesan tendesius dan bias dalam pemberitaan sedang meliput event tertentu.

Berhubungan dengan UU Pasal 1 dan 2 UU Pers No.40 tahun 1999 tentang perlunya masyarakat mengawasi kinerja Pers. Dilatarbelakangi faktor pendidikan yang belum terlaksana secara kognitif, ternyata pelaksanaan dari aturan tersebut belum sepenuhnya dihayati oleh masyarakat, massyarakat juga belum tahu menahu perkara itu. sehingga perlu diadakan sosialisasi secara intensif oleh organisasi yang mewadahi Wartawan di provinsi Lampung baik itu AJI maupun PWI.

Persoalan media ecek-ecek dan profesional tetaplah sama, dilihat dari sisi Agenda Setting, Farming, sehingga membentuk konstruksi sosial yang mempu memecah belah masyarakat. Apalagi menjelang pilgub lampung 2018 mendatang. Tapi juga peran media amatlah sentral sehingga sering kali atas kecerdasan masyarakat Lampung yang majemuk konflik sosial dapat teratasi dalam tempo sesingkat mungkin.

Di lain sisi, perlunya peran lebih mendalam dari dewan pers atas sinergisitas dengan KPI, Kemenkominfo, serta pemerintah dalam menjaga arus informasi yang berkembang di masyarakat melalui UU ITE. Tapi kita semua mengetahui bahwa itu belumlah cukup, rezim etik yang selama ini di gadang-gadang sebagai sistem yang jauh lebih baik daripada Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) ala Orde Baru belum mampu menangkal media/wartawan Bodrex, atau katakanlah Saracen dan akun penebar kebencian yang baru berkembang di Microblogging, Twiter.

Mewujudkan pers yang efektif, Independen, dan membela kepentingan umum menurut saya perlu dilalkukan beberapa cara, salah satunya adalah pengupayaan dibentuknya Komisi Independen yang bertugas mengawasi Lembaga Pers, sehingga tidak hanya melalui dewan pers, ada semacam keabsahan legistimasi dalam memberikan surat peringatan terhadap Media yang melanggar kode etik, tentang pentingnya pembredelan oleh Pemerintah atas dasar dari Komisi tersebut serta UU Informasi dan Teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun