Mohon tunggu...
Aprilia NurmalaDewi
Aprilia NurmalaDewi Mohon Tunggu... ASN

Abdi negara, ibu dua putra, penyuka fiksi romantis dan fiksi traveling yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Place Paul Doumer dan Sang Pengintai

24 Februari 2025   22:07 Diperbarui: 24 Februari 2025   22:07 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Place Paul Doumer dan Sang Pengintai (Sumber: www.freepik.com)

Akhirnya Prancis menjadi tujuan pelarian dari patah hati Mada, meski tidak ada yang menjamin bahwa eclair dan macaron mampu menyembuhkannya. Namun, Mada butuh pengalihan menyenangkan untuk melupakan kenyataan bahwa seorang pria meninggalkannya tanpa kata perpisahan, setidaknya sedikit aba-aba.

Mada meletakkan topi dan kameranya di atas meja sebuah kafe tua di Place Paul Doumer. Patah hati membawanya menepi di Arles alih-alih berwisata di Paris.

"Nyonya, selamat menikmati maafe Anda." Seorang pramusaji wanita bergaun biru cerah dengan motif bunga oranye tersenyum ramah saat membawakan pesanan Mada. Gaun pramusaji itu kontras dengan cahaya matahari yang sedang terik-teriknya.

"Nona," ralatnya dengan senyum yang dibuat seramah mungkin agar pramusaji itu tidak tersinggung bahwa sebutannya membuat Mada tersinggung. Hal sepele yang hampir merusak harinya.

Memilih sajian Senegal di Prancis adalah hal baru bagi Mada. Dia terpaksa melakukannya karena sandal yang dikenakannya tidak begitu nyaman sehingga dia harus berhenti di sana, di sebuah kafe yang menjual hidangan Afrika. Untunglah sajian daging domba yang dimasak dengan saus kacang dan sayuran itu sangat lezat. Mada tiba-tiba lupa pada panggilan "nyonya" lalu jatuh cinta pada kafe itu.

Satu-satunya hal yang membuat Mada tidak nyaman adalah kesendiriannya. Perempuan itu yakin seseorang sedang mengamatinya. Mada kemudian mengedarkan pandangan ke meja-meja lain di teras kafe. Tidak satu orang pun memandanginya. Dengan canggung Mada menggeser kursinya ke kiri lalu ke kanan, mencari-cari posisi di mana dia merasa tidak seorang pun dapat memata-matainya.

Mada meremas serbet putih di tangan kirinya, sementara tangan kanannya meletakkan garpu. Dia mengambil jeda, menerka-nerka jika saja pakaian, riasan, atau tatanan rambutnya terlihat aneh dan mencuri perhatian. Sekali lagi, Mada melirik ke kiri ke kanan, ke mana-mana.

Sayangnya, hingga maafe di piringnya tandas, Mada tidak menemukan jawaban dari kecemasannya. Dua pria Asia di arah jam dua atau tiga wanita yang bersenda gurau di arah jam sembilan? Batinnya bertanya-tanya, tetapi tidak ada jawaban sampai dia meninggalkan kafe itu.

*

Mada kembali ke kafe Afrika dengan pintu dan jendela berwarna biru itu, dua hari setelah kunjungan pertama. Alasannya? Pemandu yang mengantarnya untuk kunjungan ke Kastil Arles mengatakan bahwa Mada juga harus mencoba thiebou yapp, hidangan Afrika lainnya. Bukankah patah hati selalu menjadi alasan bagi wanita untuk makan lebih banyak dari hari lainnya?

Baru saja Mada tiba di kafe tua itu, dia sudah merasa ada yang kembali memandanginya. Dengan was-was perempuan itu lagi-lagi memindai seluruh teras kafe tempatnya duduk. Mada menyukai duduk di teras dan menghabiskan makanannya di ruang terbuka. Namun, hari itu dia merasa perlu untuk berpindah ke dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun