Perkembangan pariwisata berkelanjutan telah menjadi salah satu strategi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Salah satu bentuk pengembangan pariwisata yang semakin populer adalah ekowisata, yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Salah satu desa yang terletak di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Desa Pancoh merupakan salah satu contoh keberhasilan transformasi dari desa pertanian tradisional menjadi destinasi ekowisata.
Sebelum berkembang sebagai desa wisata, masyarakat Pancoh mengandalkan sektor pertanian dan peternakan sebagai sumber penghidupan utama, dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah. Namun, dengan potensi alam yang dimiliki seperti persawahan hijau, perkebunan salak, sungai yang jernih, serta budaya masyarakat yang masih kental. Desa Pancoh mulai mengembangkan konsep ekowisata berbasis partisipasi masyarakat. Dukungan dari pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat turut mempercepat proses ini, sehingga Pancoh kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alternatif di Yogyakarta yang mengedepankan ekowisata.
Perubahan dari desa agraris menjadi desa ekowisata membawa dampak signifikan, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Di satu sisi, ekowisata memberikan peluang baru bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui homestay, kuliner lokal, jasa pemanduan wisata, dan penjualan produk kerajinan (Eviana, 2020). Di sisi lain, interaksi dengan wisatawan dan modernisasi sedikit banyak memengaruhi nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Selain itu, pengelolaan lingkungan menjadi tantangan tersendiri mengingat kunjungan wisatawan yang terus meningkat berpotensi menimbulkan tekanan terhadap sumber daya alam. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisis lebih dalam mengenai dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari pengembangan ekowisata di Desa Pancoh, serta bagaimana konsep keberlanjutan diimplementasikan dalam pengelolaan wisata tersebut. Dengan memahami dinamika ini, diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi pengembangan ekowisata di desa-desa lain di Indonesia agar mampu menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan sosial budaya.
DAMPAK EKONOMI DESA EKOWISATA PANCOH
1. Peningkatan Pendapatan Masyarakat melalui Lapangan Kerja
Sebelum menjadi desa ekowisata, sebagian besar masyarakat Pancoh bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan  (Ratnaningsih, 2024) . Aktivitas ekowisata membuka peluang kerja bagi warga lokal, dengan adanya ekowisata, muncul usaha-usaha baru seperti homestay, warung kuliner, dan jasa pemandu wisata yang meningkatkan pendapatan warga. Sehingga hal ini mengurangi angka pengangguran dan urbanisasi.
2. Pengembangan Usaha Lokal
Di Desa Pancoh terdapat perkebunan salak yang sangat produktif. Hamparan lahan yang ditanami ribuan pohon salak dengan beragam varietas ini menciptakan pemandangan yang memukau. Kesuburan kebun salak yang luar biasa ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai objek wisata agro. Pengaturan lahan yang tertata rapi dan luasnya area perkebunan menciptakan panorama alam yang memesona. Potensi wisata agro ini dapat memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi desa dan penduduk lokal. Selain sebagai destinasi wisata, kebun salak ini juga berpotensi menjadi laboratorium alam bagi wisatawan yang ingin mempelajari teknik budidaya salak dan berbagai aspek pertanian terkait.
DAMPAK SOSIAL DESA EKOWISATA PANCOH
1. Perubahan Pola Interaksi Sosial