Universitas juga  memiliki keistimewaan dengan independensinya yang bisa menerima keharusan untuk mengajarkan kebenaran, yang mengarah pada sasaran kebaikan sosial dan harmonisasi moral bersama. Prinsip sejati pencarian kebenaran yang memperbaiki kemanusiaan hakiki inilah yang menjadi orientasi humanitas 'par exellence' sebagai instrumen kesadaran bersama, bagaikan bara api yang mampu menyinari lingkungannya.
Dalam aktivitasnya, Jaspers melihat perguruan tinggi sebegai sebuah sistem organisasi yang dibina oleh para team tokoh kompeten dibidangnya yang mampu menempatkan dirinya dalam lingkaran „scientific community“ (komunitas ilmiah), sekaligus sebagai bagian sistem komunitas yang epistemik.
Untuk konklusi sementara, maka menurut hemat penulis, menghadapi tantangan global, dalam gelombang era krisis dan sesudahnya, merujuk pada pandangan klasik perkembangan reformasi sistem perguruan tinggi di Barat/Eropa dan sekutunya yang dikenal sebagai salah satu motor modern peradaban global, maka langkah lanjutan, seperti yang telah dirintis oleh aliran pendidikan ala Britania dan Germania, dengan sampel dua visi utama dari Ortega y Gasset dan Karl Jaspers misalnya, dapat dijadikan telaah kritis kembali dengan konteks kini, yang mampu menginspirasikan semua walau dalam posisi lingkaran lokal dalam memasuki tantangan global, tanpa menegasikan prinsip-prinsip ekonomis dalam sistem kepemimpinan institusinya, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi positif dalam mengejawantahkan pemikiran progresif, spirit penemuan iptek kontinual, mampu membina komunitas intelektual yang berbasis pada hubungan proses belajar-mengajar yang tidak lepas dengan peranan riset dan inovatif, misalnya seperti dalam pemikiran ala tokoh ekonom Schumpeterian, yang menstimulir perlunya upaya innovasi yang berkelanjutan sesuai perkembangan teknologi jaman.
Prinsip esensial ini misalnya pernah termaktub dalam motto  universitas lokal (Universitas Malikussaleh), bermula dengan „inovasi mencapai kejayaan dan kebenaran“ sampai „mencari kebenaran untuk mencapai kesalehan kompetitif“, dst. Setiap universitas lokal tentu memiliki mottonya sebagai bagian dari kontribusinya yang unik, yang tentu dijadikan sebagai basis orientasi ideal.
 Sejak era Aceh Darussalam dengan tokoh reformator pendidikan seperti Syamsuddin Pasai Sumatrani & Abdurrauf Singkili (Syiah Kuala), melewati kepeloporan pendidikan ala PUSA sampai ke Aly Hasjmy (1914-1998) atau memasuki era pendidikan nasional Indonesia dengan tokoh Aceh seperti Teuku Muhammad Hasan (1906-1997) & Teuku Muhammad Syarif Thayeb (1920-1989) yang juga dikenal sebagai reformator pendidikan di jamannya, maka kini tentu diperlukan figur penerus yang mampu melanjutkan kontinuitas reformasi baru sesuai tantangan jaman.
Untuk wilayah lokal yang lagi mekar seperti Aceh pasca-konflik dan bencana, yang telah diberikan hak istimewa dalam bidang pendidikan, maka kontinuitas reformasinya kini urgen diperlukan.
Esensi keistimewaannya semoga tetap dalam titik iluminasi berlandas pada rasa tanggung jawab sosial, kewajiban etis kemanusiaan dan representasi kultural dalam semangat internationalitas dengan kharakter kosmopolitan, yang mampu menempatkan universitas/perguruan tinggi berstandard international sebagai basis yang memiliki masa depan riset multidimensi sebagai „life-blood“ serta kemampuan kreatif dalam kharakter yang mandiri berlandaskan „thought-leadership“. Saripatinya,  kemampuan menjadikan wilayah pendidikan sebagai sarana transparan yang tangguh dalam bidang intelektual, mental, moral, religiositas dan warisan keunikan lokal lainnya untuk mampu berkontribusi dalam tatanan peradaban, “rahmatanlilalamin“  yang universal.