Mohon tunggu...
Sutrisno
Sutrisno Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Komunitas

Entrepreneur tata graha akreditasi, sedang belajar di Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Salah Persepsi Obat Paten dan Obat Generik

21 November 2013   00:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:52 7146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13849985512114300711

[caption id="attachment_303345" align="aligncenter" width="557" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]

Mintalah resep obat generik.  Kalimat yang cukup sering kita dengar. Tentu istilah obat generik dan obat paten ini sudah sangat familier bagi masyarakat. Bukan hanya di kalangan masyarakat kesehatan melainkan juga bagi masyarakat umum yang saya yakin hampir seratus persen pernah berurusan  dengan yang namanya obat, resep dan  peresepan obat. Akan tetapi tahukah kita apa sebenarnya obat generik dan obat paten? Benarkah obat yang selama ini kita konsumsi yang kita anggap paten adalah benar-benar obat paten?

Terlebih dahulu marilah kita membahas tentang paten. Karena yang kita bahas disini adalah tentang obat tentu yang saya maksudkan disini adalah paten obat.

Tentang Istilah Paten

Kata paten, berasal dari bahasa Inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu.

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU No.14 tahun 2001, pasal. 1, ayat. 1)

Sedangkan obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Dan selama masa itu perusahaan farmasi memiliki  hak eksklusif untuk memproduksi obat yang dimaksud dan sebaliknya perusahaan lain tidak diperkenankan memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten. Hak eksklusif atas paten dan merk paten ini tentu membawa konsekwensi “monopoli” yang berkorelasi dengan mahalnya biaya riset, biaya uji klinik, selain tentu saja sebagai penghargaan atas sebuah kekayaan intelektual. Itulah yang menyebabkan obat paten harganya pasti lebih mahal.

Apakah obat generik?

Obat generik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai obat dengan nama asli zat berkhasiat obat. Obat generik ini diproduksi berkorelasi dengan habisnya masa paten sebuah obat paten. Dalam perjalanannya Obat generik yang dulunya tidak mencantumkan logo pabrik pembuatnya dan disebut Obat Generik (OG) kini obat generik dikenal dengan OGB (Obat Generik Berlogo) yang diperbolehkan mencantumkan logo perusahaan pada kemasannya. Singkatnya lagi, obat paten habis masa patennya diproduksi oleh perusahaan lain sebagai obat generik.

Beberapa Contoh Obat Paten :

Asam asetilsalislat yang ditemukan oleh Felix Hoffmann dari perusahaan farmasi Bayer pada 1897 dan juga (tentu saja) diproduksi oleh Bayer, dengan nama Aspirin. Contoh obat paten lain Norvasc (Amlodipin ) Pfizer yang habis masa patennya pada 31 Januari 2007, Tequin (Gatifloxasin) Glaxo habis masa patennya 25 Desember 2007 kemudian contoh lainnya adalah  Zyrtec (Cetirizin) – Pfizer yang habis masa patennya 25 Desember 2007

Setelah masa paten berakhir, perusahaan farmasi berbondong-bondong memproduksi Obat Generik Berlogo (OGB). Akan tetapi dalam perjalanannya secara politik maupun secara ekonomi, OGB cenderung tidak memberikan keuntungan yang besar terhadap industri farmasi. Margin keuntungan yang relatif rendah, produk yang tidak terlalu diminati, belum lagi adanya batasan HET yang tentu saja cukup menyulitkan industri farmasi dalam memainkan harga demi mendapatkan keuntungan yang besar.  Muncullah istilah obat generik bermerek atau branded generik atau brand name. Obat inilah yang akhirnya salah dipersepsikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai obat paten. Bukan hanya oleh masyarakat umum melainkan juga masyarakat kesehatan (termasuk didalamnya dokter).

Obat brand name atau branded generic (atau sering juga disebut me too product) tentu bukan obat paten. Obat paten adalah obat innovatornya. Naspro (Asetosal) bukan obat paten meskipun nama generiknya Asetosal. Obat paten dari Asetosal adalah Aspirin. Demikian juga jika dokter anda meresepkan Tensivask, Amcor, Divask, maka obat-obat tersebut bukanlah masuk kategori (tidak tepat jika disebut) obat paten melainkan branded generik. Contoh lain : Incidal, Lerzin, Ozen, juga bukan obat paten karena innovator dan pemilik merek paten dari Cetirizin adalah Zyrtec. Beberapa contoh obat paten diatas saya kutip dari Express Scripts and Generik Pharmaceutical Association dan sengaja saya ambil beberapa saja yang menurut hemat saya obat-obat tersebut cukup familier di masyarakat. Khususnya di kalangan (maaf) OKB (Orang Kaya Baru) yang begitu lantangnya menolak obat generik dan menyebut suatu merek dengan kata paten yang sejauh saya tahu itu hanyalah me too product.

Dalam sebuah kesempatan diskusi resmi beberapa tahun lalu, seorang senior saya yang ber-panel dengan pejabat dari Kemenkes yang pernah menjadi Kepala BPOM pasca Pak Sampurno, (maaf saya lupa namanya). Beliau mengilustrasikan : suatu misal pabrik Syafana Farma yang memproduksi Amoksilin Generik dan Naxoma (sebagai me too produknya dengan komposisi sama yakni Amoxilin). Menurut penjelasan beliau, ternyata berdasarkan data kepabeanan, sumber impor zat aktifnya (Amoksilin) adalah berasal dari sumber sama alias dari negara yang sama. Atau dapat dikatakan bahwa bahan baku Amoksilin Generik dan Naxoma yang diproduksi oleh Syafana Farma adalah sama.

Apakah dengan demikian kedua obat tersebut sama mutunya? Belum tentu, kalau dikatakan komposisinya sama, okelah saya masih bisa menerima. Namun jika kita ingin menyamakan mutu suatu produk tentu masih cukup panjang penjelasan, parameter dan pengujian yang harus kita jelaskan dan kita buktikan

Hal itu tentu tidak bisa terlepas dari beragam faktor yang mempengaruhinya misalnya zat tambahan (pengisi, pembawa, penghancur dll)  dan juga hasil uji yang exact seperti uji BA-BE (bioavailabilitas dan bioequivalensi). Banyak uji yang dilakukan terhadap produk brand name maupun produk original (paten) yang dibandingkan terbukti menunjukkan BA-BE yang berbeda meskipun perbedaannya masih berada pada ambang toleransi yang ditetapkan FDA-nya Indonesia (BPOM) maupun kitab farmasinya Indonesia (Farmakope Indonesia). Namun secara mutu tentu obat tersebut akan memberikan dampak onset (kecepatan mendapatkan efek terapi) yang berbeda, durasi (lamanya efek) yang berbeda, dan bukan tidak mungkin optimalisasi hasil terapi yang berbeda pula.

Apa Maknanya?

Saya secara pribadi mendukung upaya peningkatan penggunaan obat generik, menggenerikkan Indonesia adalah sebuah kebijakan yang harus didukung. Mengingat di banyak negara (jangan dibandingkan dengan Amerika atau Inggris) dibandingkan dengan negara ASEAN saja tingkat serapan obat generik kita masih cukup rendah.

Saya bisa memahami keengganan banyak dokter untuk menggunakan obat generik, bahkan jikalau mereka ragu pun saya bisa menerima kenyataan pahit tersebut mengingat banyaknya aspek, banyaknya industri. Kan sudah ada CPOB ? Ah, CPOB itu kan (hanya) sertifikat, tak jauh beda dengan ISO dan lain-lain. Saya tidak bersu’uzon. Cuman saya tidak bisa meyakinkan terhadap diri saya sendiri apakah semua industri farmasi menjalankan SOP dan standar mutu yang sama baiknya pada saat sertifikasi dengan saat tidak sedang disertifikasi (Note. Karena kita tinggal di Indonesia).

Jika menggunakan obat generik, sedapat mungkin pilihlah dari perusahaan farmasi yang telah anda kenal reputasinya. Konsultasikan dengan Apoteker anda jika anda takut atau segan (atau bahkan gengsi) untuk menanyakannya kepada dokter anda.

Jangan membiasakan diri dengan sugesti yang tidak rasional terhadap suatu produk, karena sangat mungkin obat yang selama ini anda agung-agungkan sebagai obat paten adalah obat brand generik yang kualitasnya belum tentu lebih baik dengan obat generik berlogo sedangkan secara harga produk brand generik kebanyakan mempunyai selisih harga yang sangat signifikan. Harap diketahui bahwa jumlah (jenis) obat me too product yang beredar di Indonesia adalah ratusan kali lipat dari jumlah obat paten. Prinsip dari terapi bukanlah sebuah merek obat melainkan keberlangsungan dan keberlanjutan. Jika kebetulan anda adalah penderita penyakit kronik atau penyakit degeneratif dan kebetulan berada dalam tingkat ekonomi yang pas-pasan, bukankan lebih baik jika kita gunakan obat generik tapi terapi dapat berlangsung selama satu tahun daripada uang kita habis setelah satu atau dua bulan terapi dan selanjutnya kita tidak mampu lagi membeli obat???

Penutup, Obat Generik Equivalen (OGE) mudah-mudahan segera dapat menjawab keraguan kita terhadap obat generik dan mampu menggenerikkan Indonesia menuju suksesnya SJSN yang tinggal beberapa saat lagi.

Wallahu a’lam maaak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun