Mohon tunggu...
Sutrisno
Sutrisno Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Komunitas

Entrepreneur tata graha akreditasi, sedang belajar di Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menakar Potensi Terjadinya Covid Gelombang Kedua di Indonesia

11 Juni 2020   12:41 Diperbarui: 11 Juni 2020   12:42 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana negara lain yang telah terlebih dahulu social distancing, Indonesia pun berada dalam ancaman bayang-bayang terjadinya Covid-19 gelombang kedua pasca pemberlakuan relaksasi PSBB di berbagai wilayah di negara kita. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI per 10 Juni 2020, terdapat 34.316 kasus positif di Indonesia, 1.959 meninggal dunia dan 12.129 sembuh. Lonjakan kenaikan kasus bulan Juni ini tergolong tinggi, bahkan sempat mencatat rekor kenaikan harian tertinggi sepanjang terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia.

Relaksasi PSBB di berbagai wilayah di Indonesia kini memunculkan ancaman terjadinya Covid gelombang kedua sebagaimana ancaman serupa juga telah terjadi di China, Korea Selatan, India, Iran dan Jerman. Ancaman ini bukan sebuah pepesan kosong. Mengingat dalam masa awal pemberlakuan relaksasi atau new normal atau adaptasi kebiasaan baru kita melihat sendiri betapa chaosnya kondisi tatanan sosial masyarakat yang memang sudah pada titik jenuh berada di rumah selama lebih dari tiga bulan.

Lantas bagaimana dengan potensi gelombang kedua Covid ini dapat terjadi di negara kita? Merujuk pada situasi yang terjadi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa gelombang kedua Covid-19 di Indonesia memenuhi syarat untuk terjadi.

Pertama, semua sepakat bahwa ketidakpatuhan masyarakat yang bersifat masif terhadap pembiasaan hidup dalam kebiasaan baru dapat menjadi faktor utama untuk terjadinya gelombang kedua Covid-19. New normal adalah beradaptasi dengan kebiasaan baru terutama dalam empat pokok perkara : pakai masker saat keluar rumah, sering cuci tangan, tidak berjabat tangan dan physical distancing. Fakta  yang terjadi dan viral dalam beberapa waktu belakangan ini memenuhi syarat untuk parameter ini. Seperti terjadinya gelombang pesepeda di Yogyakarta pada hari Minggu 8 Juni 2020 kemarin menunjukkan bahwa masyarakat seperti tidak ada "rasa sungkan" terhadap virus corona ini.

Pada sisi yang lain, secara subyektifitas pengamatan saya, di banyak ruas jalan yang sering saya lalui di wilayah Yogyakarta, jumlah pemakai masker di area-area publik masih tergolong sedikit, jauh lebih banyak mereka yang tidak mengenakan masker. Hal serupa juga terjadi pada ketidaksiapan masyarakat terhadap kebiasaan untuk tidak berkerumun dan selalu menjaga jarak alias melakukan social distancing. Masih banyak saya temukan antrian yang tidak tertib, emak-emak belanja becara berkerumun di pinggir-pinggir jalan, bahkan pengunjung di warung-warung makan masih berada pada situasi yang lama yakni normal habit atau regular habit

Kedua, gejolak sosial dan ekonomi yang tidak tertangani dengan baik. Konsep dasar pelaksanaan PSBB maupun masa tanggap darurat pada dasarnya adalah "hybernate" terhadap berbagai aktifitas masyarakat beserta penanganan atas dampak-dampak yang ditimbulkan.

Kebutuhan dasar dipenuhi melalui berbagai sumber anggaran pemerintah pusat maupun daerah, kemudian relaksasi pembayaran cicilan atau pinjaman baik yang bersifat konsumtif maupun produktif, termasuk langkah yang dilakukan pemerintah adalah pemberian keringanan atas pembayaran tagihan listrik pada kelompok-kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi. Konsep ini bagus meskipun pada area yang lebih jauh pemerintah tidak melakukan penurunan harga bahan bakar minyak pada saat harga minyak mentah dunia turun di level terendah. Namun demikian, pada kenyataannya  masih banyak terjadi permasalahan-permasalahan tambahan lain yang sampai saat ini belum ada jalan keluar seperti :

  • Adanya perilaku menyimpang yang membudaya dalam sebagian masyarakat kita misalnya : menggunakan dana bantuan tidak sesuai dengan tujuan semestinya seperti untuk belanja baju lebaran, beli handphone dan sebagainya sehingga secara simultan menciptakan fenomena-fenomena sosial yang baru semacam berduyun-duyunnya masyarakat memenuhi pusat-pusat perbelanjaan tanpa mengikuti protokol kesehatan, selain itu, perilaku tersebut dapat menciptakan permasalahan baru yakni kehabisan logistik pada saat pandemi belum selesai.  
  • Masih adanya permasalahan penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran
  • Banyaknya pengakuan atau klaim sebagian masyarakat yang mengalami kenaikan tagihan listrik yang melebihi kewajaran

Masyarakat berada dalam situasi tidak pasti yang tidak tahu akan sampai kapan permasalahan pandemi ini selesai. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa sebagian masyarakat memang tidak siap dengan situasi ekonomi yang lumpuh secara tiba-tiba. Dan obsesi serta respon yang tinggi atas fenomena ini tentu akan menimbulkan gejolak sosial yang baru di masyarakat yang sejauh ini secara kasat mata dapat  dikatakan sudah terjadi seperti maraknya kriminalitas, maraknya pasar-pasar tradisional yang berjalan tanpa protokol seperti menjalankan new normal with regular habit.

Ketiga, koordinasi lintas sektoral yang kurang baik. Hal ini dapat kita lihat pada simpang siur pernyataan atara pemerintah pusat dan daerah, perbedaan pernyataan dan saling koreksi antar menteri, fenomena saling koreksi mudik dengan pulang kampung, pernyataan presiden untuk lebih melibatkan puskesmas dalam penanganan Covid-19 dan masih banyak contoh lain yang jejak digitalnya dapat dengan mudah kita temukan. Kondisi ini pun menular ke masyarakat tingkat bawah. Kita bisa lihat pada penutupan jalan, berkerumunnya masyarakat menjaga portal, mobil-mobil  disemprot dengan chamber-chamber desinfektan otomatis. Ini terjadi begitu saja tanpa bisa dikoordinasi bahkan oleh pemangku wilayah teritorial setingkat desa sekalipun.

Keempat, tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan proporsional terhadap para pelanggar protokol kesehatan. Pemerintah telah menyiapkan ratusan ribu aparat untuk terlibat dalam pelaksanaan new normal. Masyarakat tentu berharap agar keterlibatan aparat ini bisa include dengan ketegasan terhadap para pelanggar-pelanggar dan kelompok masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan di tempat publik.

Budaya tertib (dokpri)
Budaya tertib (dokpri)

Lantas apakah gelombang kedua Covid akan terjadi di Indonesia? Selama empat kondisi tersebut masih berlangsung, maka kita harus bersiap menyambut datangnya gelombang kedua Covid-19.

Pencegahan terhadap terjadinya gelombang kedua Covid-19 dimulai dari kepatuhan terhadap protokol kesehatan selama pemberlakuan new normal meliputi empat aksi dasar yakni pakai masker, sering cuci tangan, hindari jabat tangan dan physical distancing, penanganan permasalahan sosial dengan baik, koordinasi lintas sektor yang baik antar pemerintah pusat dengan daerah maupun pada level pemerintah daerah dengan daerah, dan yang terakhir adalah penegakan hukum yang proporsional terhadap pelanggaran protokol kesehatan di tempat-tempat umum. Wallahu a'lam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun