Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskusi Publik Bersama Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

19 Desember 2016   13:35 Diperbarui: 5 Januari 2017   11:45 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penanganan kekerasan pada perempuan dan anak

- Saya sering dicubit Bu, sama Bu X. Katanya saya suka jalan jalan. -

Keluhan ini baru saya dengar, 14 tahun kemudian. Sebuah cerita setelah 14 tahun berlalu, saat si anak sudah menjadi gadis muda. Kekerasan pada anak di ranah sekolah, kerap membuat geram. Bagaimanapun, anak-anak adalah anak anak yang berhak mengalami hari hari menyenangkan dalam belajar. Bukan rasa takut atau sakit. 

-" Iya, kakak memukul saya. Saya pulang terlambat," -

pengakuan ini dikeluarkan anak saya, setelah seorang temannya setengah memaksanya menghadap saya. Siswa kelas 5 SD, 13 tahun yang lalu. Bilur bilur merah yang saya lihat di kakinya membuat saya ingin menangis. Dalam rumah di mana seorang anak dikasihi, kok ada yang tega memperlakukan anak seperti itu? Saya belum ada di sana waktu itu. Anak yang membawanya pada saya menyebutkan bahwa kakak anak itu bahkan pernah memukuli anak itu di sekolah. Ke mana para guru saat itu? Tapi saya sungguh sedih, membayangkan bahwa guru guru hanya diam melihat kejadian seperti itu.

-" Sir X mah suka coret coret wajah kita kalau ngga bisa pakai marker. Miss ngga tahu telinga si J sampai berdarah dijewernya."- 

Kisah lain dari seorang siswi kelas 6 SD.  Lagi-lagi guru melakukan kekerasan terhadap anak didiknya.  Dalih mendidik menjadi alasan bagi guru melakukan kekerasan pada anak. Hukuman dikedepankan mengatasi perilaku anak tanpa mencoba membangun relasi, untuk membangun pembiasaan yang baik. Kekerasan pada anak dan perempuan dalam rumah tangga seringkali didalihkan sebagai pendidikan/ disiplin pada pasangan atau anak.Tapi, benarkah?  

Banyak kasus kekerasan dalam rumah dan di sekolah tidak terekspos. Memang sebaiknya demikian demi masa depan anak anak tersebut juga terutama jika berkaitan dengan seksualitas. Di sisi lain, siapa yang akan berdiri untuk anak-anak yang mengalami ini? 

Saya membicarakan kasus kasus ini saat saya mengikuti diskusi publik mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2015. Sementara itu KPAI mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya. Data tersebut ‘hanya’ didasarkan pada laporan yang masuk, sementara masih banyak kekerasan di luar sana yang tidak terekam karena masyarakat kita masih beranggapan bahwa kekerasan yang terjadi di sekitarnya masihlah tabu untuk diketahui oleh orang lain (terlebih lagi jika dilaporkan ke pihak yang berwajib).
 Mengapa? Karena kendornya pengawasan sosial kita kepada lingkungan sekitar. Masyarakat, terutama perempuan dan anak yang rentan menjadi korban kekerasan, sudah selayaknya mendapatkan edukasi untuk melindungi dirinya sendiri dari tindak kekerasan.

Meski demikian, peran orang-orang di sekitarnya juga sangat berarti. Tidak menghakimi korban pemerkosaan, tidak menggunjingkan, tidak berpartisipasi menyebarkan foto identitas korban, menghindari pemaparan peristiwa pemerkosaan secara rinci di media sosial, dan berani melaporkan tindak kekerasan adalah beberapa cara yang dapat membantu mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menggaungkan ajakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang serta mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan yang disebut dengan program Three Ends. Program ini akan mengajak seluruh unsur, baik dari keluarga, pemerintah, akademisi, praktisi, dan bahkan media untuk tidak melakukan pembiaran atau bahkan ikut melakukan kekerasan secara terselubung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun